BEKERJA DAN BERBAKTI UNTUK KEMAJUAN KTI

Rotan Bernilai Tambah

Rotan Bernilai Tambah

Oleh: Videlis Jemali

BERBICARA tentang produk turunan rotan di Tanah Air, secara spontan orang akan menyebut Cirebon di Jawa Barat dan Sukoharjo di Jawa Tengah. Kini, harapan dan referensi lain mulai terbit dari sebuah kampung transmigrasi di bagian timur Palu, Sulawesi Tengah.

Jamaludin (47), seorang transmigran asal Desa Trangsan, Sukoharjo, Jawa Tengah, adalah perajin yang boleh dibilang bakal meramaikan, bahkan mengubah, kiblat dunia pengolahan rotan nasional ke depan. Ia memberi sentuhan segar pada model mebel dari rotan yang selama ini seolah patuh pada sebuah pakem mati.

Jamaludin mendesain kursi dengan berbagai bentuk, ada yang menyerupai buah belimbing, kursi panjang seperti sofa, hingga kursi lipat. Ia juga membuat meja untuk anak sekolah dengan kerangka rotan.

”Saya berprinsip, desain mebel dari rotan lebih lentur, tidak mati, gampang diatur. Saya biasa mencoba-coba berbagai model. Saya juga mengikuti selera pembeli, misalnya alas kaki dari stainless (stainless steel) atau sandaran tangan kursi dari kayu kelapa. Saya menantang diri dan ditantang pembeli untuk menghasilkan produk berbeda,” kata bapak empat anak itu, Sabtu (11/1).

Kecintaan Jamaludin pada dunia pengolahan rotan tumbuh sejak masa sekolah menengah atas pada 1984. Untuk menutup biaya sekolah, ia bekerja kepada perajin yang membuka usaha mebel di desanya. ”Saya sering dimarahi kepala sekolah karena bolos untuk bisa bekerja,” kata Jamaludin mengenang.

Tak melanjutkan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi, Jamaludin semakin serius bergelut mengolah rotan sejak 1986. Sambil bekerja, ia belajar banyak hal tentang mebel, terutama yang berbahan baku rotan. ”Itu menjadi pengalaman berharga yang membuat saya bisa mengutak-atik desain kursi atau produk lain,” ujar Jamaludin yang sering bermitra dengan perajin mebel setempat kalau ada pesanan dalam jumlah banyak.

Babak baru perjalanan usaha Jamaludin mulai tersibak ketika ia dengan mantap mengikuti program transmigrasi ke Sulawesi Tengah pada 1994. Samar-samar, ia mendengar informasi bahwa Sulteng merupakan salah satu penghasil rotan di Indonesia. ”Di mana ada rotan, saya pasti hidup,” begitu keyakinan Jamaludin ketika memutuskan bertransmigrasi.

Awal berkiprah di daerah transmigrasi, Jamaludin membuat bola takraw. Ia menjual dengan strategi dari pintu ke pintu. Namun, sambutan pasar tidak sesuai yang diharapkan. Banyak bola yang tak laku. Alih-alih menyerah, Ketua Forum Perajin Rotan Kota Palu itu justru bersemangat mengolah rotan.

Setahun setelah berada di Palu, ia mulai membangun usaha mebel. Ia berani memamerkan kursi dan mejanya pada pameran mendadak di kelurahan guna menyambut dan menyemarakkan kunjungan Kepala Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional Haryono Suyono kala itu.

Saking bagusnya hasil kerja tangan Jamaludin, Haryono sangsi. ”Pak Haryono tidak percaya itu produk saya. Dia bilang, saya beli dari Palu lalu dipajang di sini. Saya menanggapi secara positif bahwa produk saya kompetitif,” kata Jamaludin yang bekerja sama dengan Dinas Perindustrian dan Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Palu untuk melatih orang-orang yang ingin mengolah rotan.

Setelah perkembangan usaha sedikit stabil, bermodal Rp 20 juta, pada 2006 Jamaludin mendirikan CV Bonelayana Jaya. Nama itu kira-kira mengandung ambisi bahwa mebel akan berjaya di pentas nasional dan internasional.

Harapan itu perlahan mulai terwujud empat tahun kemudian. Kalau pada 2006 Jamaludin hanya mendapat omzet sekitar Rp 30 juta per tahun, sejak 2010 omzetnya sudah berkisar Rp 300 juta-Rp 400 juta dengan kapasitas produksi dua peti kemas setiap bulan hingga saat ini. Kalau dulu hanya memiliki 2-4 pekerja, sekarang CV Bonelayana mempekerjakan 40 orang. Enam orang merupakan pekerja tetap yang punya keterampilan mulai dari membuat kerangka, menganyam, hingga menyelesaikan produk. Sisanya dikerjakan sesuai dengan kebutuhan pesanan.

Jamaludin membeli batang rotan dengan kisaran harga Rp 6.500-Rp 13.500 per kilogram. Harga jual per set (2 kursi, 1 meja, dan 1 kursi panjang serupa sofa) mencapai Rp 5 juta. ”Ini harga yang proporsional setelah dihitung dengan harga beli rotan dan bayar tenaga,” ucap Jamaludin yang sudah 12 kali mengikuti pameran mebel di Jakarta sejak 2007.

Gaji pekerja terampil sangat fantastis, Rp 4 juta atau hampir empat kali lipat dari Upah Minimum Provinsi Sulteng 2013 sebesar Rp 1,25 juta. ”Saya ingin kualitas menjadi ukuran kerja. Prinsip saya seperti semboyan orang Jawa, jeneng (nama) dulu, baru jenang (bubur khas Jawa). Kalau pekerja bekerja dengan nyaman, kualitas pasti terjaga, produktivitas tidak akan terganggu, malah terus meningkat,” kata Jamaludin yang menyerahkan urusan pemasaran kepada sang istri, Nurul Ratnawati (35).

Saat ini, produk mebel CV Bonelayana sudah beredar hampir di seluruh Sulteng. Tidak sedikit pula pesanan datang dari Makassar, Sulawesi Selatan, dan Manado, Sulawesi Utara.

Atas produktivitas dan kualitas produknya, CV Bonelayana diganjar penghargaan Paramakarya dari Kementerian Koordinator Perekonomian dan Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi pada pertengahan Desember tahun lalu untuk kategori usaha kecil.

Jamaludin masih berambisi menjajal pasar internasional. Pada pameran di Pekan Raya Jakarta 2012, para pengunjung dari Mesir dan Arab Saudi ingin bermitra untuk memasarkan produk.

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000004359566