HUJAN semestinya menjadi berkah. Namun, guyurannya saat musim hujan dianggap sebagai sumber musibah banjir. Untuk mengatasi bencana, diperlukan perubahan pola pikir dan pembenahan lingkungan hidrologi sehingga sumber kehidupan tersebut bisa dikelola dengan baik.Penduduk Indonesia sepatutnya bersyukur mendapat kelimpahan hujan. Berkah dari langit itu membuat berbagai kehidupan dan aktivitas manusia terus berlangsung.
Air hujan diperlukan untuk perikanan, pertanian, pembangkit listrik, dan air baku perusahaan air minum. Guyuran hujan juga menghidupi tumbuhan dan satwa di muka bumi.
Air hujan merupakan hasil kerja mesin cuaca. Prosesnya dimulai dari penguapan air laut oleh paparan sinar matahari. Uap air membentuk awan, kemudian diembus angin sampai darat hingga terkondensasi menjadi hujan.
Sayangnya, sumber kehidupan ini dibiarkan jatuh dan berlalu begitu saja, bahkan secepatnya dialirkan kembali ke laut. Ini dilakukan lewat program normalisasi sungai, yaitu melebarkan dan meluruskan sungai. Upaya meredam hujan di darat juga dilakukan lewat modifikasi cuaca agar hujan jatuh di laut.
Di Jakarta, menurut perhitungan Maik Sinukaban, pakar pengelolaan daerah aliran sungai (DAS) dari Institut Pertanian Bogor, air hujan yang ”melaut” lewat 9 sungai utama di DKI mencapai 1,5 miliar meter kubik. Pembuangan sumber air tawar ini berlangsung selama 4,5 bulan pada musim hujan.
”Padahal, air sebanyak itu dapat mengairi 30.000 hektar sawah dan memenuhi kebutuhan air 12 juta penduduk selama musim kemarau,” ujarnya. Hujan, yang merupakan siklus alami, mengisi penampungan air di pegunungan, sumber air tanah di permukaan, di dalam tanah dangkal dan dalam.
Mencegah air hujan masuk ke tanah akan menimbulkan masalah lain. Cadangan air tanah di lapisan atas dan dalam, terutama di perkotaan yang berpenduduk padat, terus turun baik jumlah maupun kualitasnya.
Di Jakarta, tak ada air permukaan yang berkualitas baik karena tingginya pencemaran. Kondisi air tanah dangkal dan di lapisan dalam juga mengkhawatirkan karena penyedotan air yang terus-menerus.
Di Ibu Kota yang dipadati gedung tinggi, penurunan air tanah dalam tergolong signifikan. Badan Pengawasan Lingkungan Hidup Daerah DKI Jakarta mengungkapkan, penurunan permukaan air tanah dalam di kawasan Jalan MH Thamrin 2,27 meter selama 2001-2004.
Tingkat penurunan di Jakarta Utara berkisar 5–12,5 cm per tahun. Di beberapa lokasi bahkan 26 cm per tahun. ”Kontribusi penurunan tanah sangat besar terhadap banjir,” ujar Masyhur Irsyam, pakar geoteknik dari Institut Teknologi Bandung.
Penurunan tanah juga terjadi sepanjang pantura Jawa, mulai Pamanukan Jawa Barat hingga Sidoarjo Jawa Timur. Penurunannya berkisar 6-16 cm.
Eksploitasi air tanah dalam menimbulkan masalah lain, yaitu penurunan permukaan tanah. Ini terjadi akibat rongga kosong yang semula terisi air jadi menurun akibat pembebanan gedung-gedung di atasnya.
Pengukuran Dinas Pengembangan DKI Jakarta selama 15 tahun hingga 1997 menunjukkan, amblesan tanah di Jakarta bervariasi 60-180 cm. Amblesan diperkirakan terus meningkat karena tak ada upaya meredam penyedotan air tanah dalam oleh pengelola gedung-gedung di Jakarta.
Sumur dan embungUntuk mengatasi, air hujan harus dipertahankan di daratan dengan berbagai cara. Selain menampung di kolam, rawa, situ, dan danau juga ditabung di dalam tanah lewat embung, sumur resapan, dan sumur injeksi.
Upaya ini merupakan solusi relatif murah dibandingkan membangun bendung dan gorong-gorong raksasa. Pembangunan embung dan sumur resapan sekaligus dapat mengatasi kelangkaan air saat kemarau dan subsidensi tanah.
Jika di lahan pertanian, petani diminta menggali embung, di Jakarta, warga diminta membangun sumur resapan. Pembuatan sumur resapan di tiap rumah merupakan kewajiban penduduk DKI Jakarta karena telah ada peraturan daerah,” ujar pakar hidrologi Teddy Sudinda dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana.
Kalau setiap rumah di Jakarta, baik secara individual maupun kolektif, membangun sumur resapan, dapat membantu mencegah genangan air saat hujan. Satu sumur resapan dangkal di tiap rumah dapat memendam air minimal satu meter kubik per jam. Dengan cara ini tidak terjadi peluberan air sehingga dapat mengatasi banjir.
Pada sumur resapan dangkal, air dapat masuk ke dalam tanah secara alami karena gravitasi. Untuk sumur resapan dalam, air harus dipompakan atau diinjeksi sampai kedalaman tertentu.
Untuk membuat sumur injeksi dilakukan pengeboran sedalam 200 meter dengan bor khusus dan pemasangan pipa selubung setebal 8 inci. Pembangunan perlu waktu 4 bulan.
Pembangunan sumur resapan sesungguhnya telah diperintahkan Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo, tahun lalu. Pembangunan sumur resapan direncanakan 10.000 titik. Namun, Rabu (29/1), Joko Widodo melaporkan yang terbangun baru 1.950 sumur.
Sementara itu, di kawasan hulu, Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama, pada 22 Januari 2013, menyepakati pembangunan 500.000 embung di lahan pertanian di hulu DAS di Jakarta, yaitu di Bogor dan Banten.
SUmber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000004472597
-
- Log in to post comments
- 165 reads