BEKERJA DAN BERBAKTI UNTUK KEMAJUAN KTI

Bagaimana hak atas tanah dari Masyarakat Hukum Adat dapat terjamin? Beberapa pelajaran dari kawasan Asia Timur dan Pasifik

WILLEM VAN DER MUUR

Masyarakat Hukum Adat (MHA) memainkan peranan yang penting dalam melindungi hutan tropis dunia yang tersisa dan melestarikan  keanekaragaman hayati.  Upaya penatagunaan, dan kontribusi Masyarakat Adat terhadap adaptasi dan mitigasi iklim, terkait erat dengan hak penguasaan atas tanah. Tanpa adanya kepastian kepemilikan tanah, akan timbul resiko banyak titik api hutan. Selain itu, komponen penting dari upaya mitigasi perubahan iklim global kita akan hilang. Bagi MHA, kepastian kepemilikan tanah pentingnya, karena memungkinkan mereka untuk mempertahankan mata pencaharian mereka dan mempertahankan identitas sosial kelompok.

Pada KTT iklim COP26 tahun lalu, dijanjikan pendanaan senilai $1,7 miliar untuk hak-hak MHA atas tanah dan hutan. Pertanyaan utama ke depannya adalah bagaimana agar janji untuk mendukung hak-hak tanah adat tersebut dapat diwujudkan ke dalam tindakan nyata. Karena hak MHA atas tanah dilindungi oleh berbagai instrumen berdasarkan hukum internasional, realisasi hak-hak tersebut tergantung pada hukum, kebijakan dan kapasitas pelaksanaan negara tempat mereka tinggal. Pengalaman Bank Dunia dalam mendukung program hak kepemilikan atas tanah di negara kawasan Asia Timur dan Pasifik dapat memberikan wawasan bagaimana hal ini dapat dipraktikkan. 

Dari 476 juta MHA di dunia, diperkirakan 225 juta berada di kawasan Asia Timur dan Pasifik.[1] Di Kawasan ini, beberapa negara telah mengadopsi undang-undang dan kebijakan yang mengakui MHA dan hak mereka atas tanah dan hutan. Namun, sebagian besar belum sepenuhnya menerapkan kebijakan tersebut, termasuk pemetaan dan pendaftaran tanah adat dalam skala nasional. Bank Dunia saat ini membantu Indonesia, Filipina, Vietnam, Kamboja, dan Republik Demokratik Rakyat (RDR) Laos dengan pendaftaran hak atas tanah di daerah pedesaan, termasuk berbagai bentuk bantuan teknis mengenai hak penguasaan atas tanah dari masyarakat hukum adat. Selain itu, Bank Dunia juga mendukung organisasi masyarakat sipil (OMS) di beberapa negara Asia Timur Pasifik untuk memajukan kesadaran hukum dan pemenuhan hak Masyarakat Hukum Adat.

Kita dapat mengambil beberapa pelajaran awal dari pengalaman tersebut:

  • Pertimbangan konteks sosial, budaya dan hukum negara tuan rumah sangatlah penting ketika mengadvokasi hak kepemilikan atas tanah dari MHA. Keragaman di seluruh negara kawasan, termasuk sistem kepemilikan tanah adat setempat, sangat luas sehingga pendekatan satu ukuran untuk semua untuk menangani dan mengadvokasi hak-hak masyarakat adat sulit dilakukan. Terlebih lagi, di banyak negara, konsep masyarakat adat tetaplah sensitif. Di RDR Laos, misalnya, kata masyarakat adat hampir tidak digunakan, karena istilah yang lebih disukai dan diterima secara sosial untuk masyarakat dengan karakteristik komunal adalah “kelompok etnis”. Di Indonesia, pemerintah menyatakan bahwa semua warga negara adalah indigenous, tetapi memberikan hak khusus kepada kelompok-kelompok yang menjalankan hukum adat (disebut sebagai masyarakat adat). Mengadopsi persyaratan yang diterima secara budaya dan hukum sangatlah penting di saat mengadvokasi hak, baik saat berkomunikasi dengan pemerintah maupun masyarakat di lapangan.
  • Keamanan kepemilikan tanah dari Masyarakat Hukum Adat dapat ditingkatkan bahkan ketika hak tanah adat belum sepenuhnya diakui oleh hukum nasional. Pengakuan hukum terhadap masyarakat hukum adat dan hak penguasaan atas tanah mereka – serta tingkat pengakuan tersebut – sangat berbeda antar negara. Di Filipina, undang-undang nasional (Undang-Undang Hak Masyarakat Adat tahun 1997) mendorong dan mengakui hak-hak ini. Di sisi lain, di RDR Laos, pemerintah baru saja mulai mengembangkan peraturan yang mengakui hak tanah adat. Sambil menunggu penerbitan undang-undang ini, tanah komunal yang tidak memenuhi syarat untuk mendapatkan sertifikasi tanah sedang dicatat ke kadaster sebagai bagian dari Proyek Peningkatan Pendaftaran Tanah secara Sistematis yang didukung oleh Bank Dunia. Di Indonesia, kerangka peraturan yang luas mengenai hak atas tanah adat sudah ada tetapi belum diterapkan secara sistematis. Bank Dunia memberikan dukungan analitis dan konsultasi mengenai pelaksanaan kerangka kerja ini. Sebagai langkah pertama menuju regularisasi hak ulayat Masyarakat Adat secara sistematis, pemerintah sedang melakukan inventarisasi di seluruh provinsi untuk mengidentifikasi semua tanah ulayat di pulau-pulau berhutan di Sumatera dan Kalimantan.
  • OMS membutuhkan lebih banyak dukungan karena mereka memainkan peran penting dalam peningkatan kesadaran hukum dan upaya di tingkat lokal untuk mengamankan hak. Bahkan di negara-negara di mana hak tanah adat secara hukum diakui, masyarakat terkadang tidak menyadari hak mereka atau cenderung bersusah payah untuk mengurus proses administrasi untuk mengamankannya. OMS dapat membantu untuk mengatasi rintangan administratif, dan membantu dengan akses ke upaya hukum. Dengan demikian, intervensi harus berfokus pada pembangunan kapasitas organisasi lokal, sementara perwakilan masyarakat harus diberi suara dalam kampanye advokasi dan program bantuan teknis. Di RDR Laos, dukungan Bank Dunia untuk meningkatkan akses  masyarakat yang rentan dan terpencil ke informasi hukum disalurkan melalui OMS lokal, yang merancang dan melaksanakan kegiatan peningkatan kesadaran hukum.
  • Koordinasi antar lembaga di antara lembaga-lembaga pemerintah pusat seringkali menjadi prasyarat untuk mengamankan kepemilikan tanah MHA. Pada akhirnya, hak penguasaan atas tanah adat hanya dapat dijamin apabila kepemilikan secara bersamaan dijamin untuk semua pemangku kepentingan, termasuk para pemilik tanah publik maupun swasta. Batas antara wilayah adat, tanah negara, dan kawasan hutan seringkali tidak jelas. Memperjelas batas-batas semua wilayah ini sangatlah penting untuk melindungi wilayah adat dan wilayah komunal yang tersisa sambil meminimalkan kemungkinan munculnya sengketa tanah. Hal ini dapat dicapai jika semua hak kepemilikan atas tanah dan hak guna tanah dipetakan dan didaftarkan secara bersamaan secara partisipatif, yang memerlukan koordinasi intensif antar instansi pemerintah. Namun demikian, mandat yang saling bertentangan di antara lembaga-lembaga pemerintah, khususnya lembaga kehutanan dan Lembaga pendaftaran tanah, menghambat proses ini.  Dukungan Bank Dunia kepada Indonesia dan Filipina untuk mencapai  pendaftaran tanah terpadu dan memperjelas  hak penguasaan atas tanah di lanskap hutan telah menunjukkan bahwa pemerintah menyambut baik dukungan eksternal untuk memfasilitasi dialog antar lembaga dan mendorong terselenggaranya administrasi pertanahan terpadu.
    $1,7 miliar bisa sangat membantu dalam melindungi hak penguasaan atas tanah dari MHA di seluruh dunia. Keterlibatan dan analisis saat ini di kawasan Asia Timur dan Pasifik menunjukkan bahwa kemajuan signifikan dapat dicapai dalam berbagai konteks negara dengan berbagai tingkat pengakuan hukum atas hak tanah adat . Intervensi hanya akan efektif jika memenuhi konteks hukum, sosial dan politik nasional dan lokal, memprioritaskan lembaga organisasi lokal dan perwakilan masyarakat, dan mendorong dialog dan koordinasi antar lembaga di tingkat pusat dan daerah.

 
[1] Berdasarkan penilaian imventarisasi MHA yang dilakukan oleh GP SSI. Data dikumpulkan dari berbagai sumber untuk masing-masing negara, antara lain dari: Asia Indigenous Peoples Pact dan International Work Group for Indigenous Affairs, Who we are, Indigenous people in Asia (2010, Chang Mai, Thailand); ILO, The rights of indigenous peoples in Asia (tidak diberi tanggal); Direktori Grup Hak Minoritas; dan Buku Tahunan Kelompok Kerja Internasional untuk Urusan Masyarakat Hukum Adat (International Work Group for Indigenous Affairs Yearbooks).

 

Artikel ini bersumber dari https://blogs.worldbank.org/id/eastasiapacific/bagaimana-hak-atas-tanah-dari-masyarakat-hukum-adat-dapat-terjamin-beberapa