BEKERJA DAN BERBAKTI UNTUK KEMAJUAN KTI

Dilema Penanganan Anak Berkonflik dengan Hukum

Anak memiliki hak khusus yang wajib dilindungi oleh negara ketika mereka tersandung persoalan hukum.

Oleh Yulius Brahmantya Priambada

Penanganan terhadap kasus anak berkonflik dengan hukum kerap mengundang kontroversi. Sejumlah pihak menginginkan anak yang melakukan tindak kejahatan diberikan hukuman setimpal selayaknya orang dewasa. Di sisi lain, terdapat upaya khusus yang diberlakukan kepada anak yang tengah berkonflik dengan hukum demi memperbaiki masa depan anak bersangkutan.

Tindak kejahatan dapat dilakukan oleh semua orang, tidak terkecuali oleh anak di bawah umur. Namun, anak memiliki hak khusus yang wajib dilindungi negara ketika mereka tersandung persoalan hukum. Mengenai hal ini, Indonesia bersandar pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

Instrumen hukum ini secara spesifik mengatur sistem peradilan dan tata cara menangani para anak yang berkonflik dengan hukum, saksi, atau korban dalam sebuah tindak pidana. Adapun definisi anak yang berkonflik dengan hukum adalah anak berusia 12-17 tahun yang diduga telah melakukan suatu tindak pidana.

Meski demikian, sebagian masyarakat mulai mempertanyakan sisi keadilan dari perlakuan khusus ini. Tak sedikit yang menyuarakan keinginannya agar anak diadili dan diberi hukum sama seperti orang dewasa. Aspirasi semacam ini dapat dengan mudah dilihat di kolom komentar unggahan di media sosial terkait kasus kejahatan yang melibatkan anak.

Sebuah unggahan di media sosial Twitter pada 26 Agustus 2023 dari akun @Heraloebss dapat menjadi salah satu contohnya. Unggahan tersebut menampilkan tangkapan layar pemberitaan kasus penganiayaan yang diduga dilakukan pelajar berusia 15 tahun terhadap teman sebayanya di sebuah madrasah tsanawiyah negeri (MTsN) di Blitar, Jawa Timur, pada 25 Agustus 2023. Hasil penyelidikan sementara terhadap kasus tersebut menyatakan bahwa tindak penganiayaan yang dilakukan terduga pelaku menyebabkan kematian korban.

Kolom komentar unggahan itu lantas dipenuhi dengan reaksi kegeraman sejumlah netizen. Selain menyayangkan terjadinya kasus memilukan tersebut, beberapa di antaranya juga menuntut supaya terduga pelaku dihukum seberat-beratnya. Bahkan, sebagian warganet juga berpendapat tidak ingin usia terduga pelaku yang masih di 18 tahun menjadi unsur yang dapat meringankan hukuman.

Umumnya, alasan terkuat pihak-pihak yang ingin supaya anak yang berkonflik dengan hukum itu dihukum seberat-beratnya adalah untuk memberikan efek jera. Hukuman berat dirasa dapat memberikan pelajaran bagi anak bahwa tindakan yang mereka lakukan salah. Selain itu, pemberian hukuman berat dinilai dapat membawa deterrence effect atau daya gentar supaya anak-anak lainnya tidak melakukan hal serupa.

Argumentasi lain yang juga menyertai alasan tersebut adalah terkait sisi keadilan. Sejumlah pihak menginginkan korban mendapatkan keadilan yang setimpal. Prinsip ”mata ganti mata” tampak kuat melatarbelakangi aspirasi seperti ini. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa sebagian masyarakat masih berorientasi pada pendekatan keadilan yang bersifat pembalasan atau retributif.

Keadilan restoratif
Perspektif keadilan retributif seperti itu memang tampak sulit dilepaskan dari benak masyarakat Indonesia. Hal ini karena sistem penegakan hukum di Indonesia selama ratusan tahun mengutamakan keadilan sebagai sebuah pembalasan. Pendekatan keadilan retributif ini paling mencolok diterapkan pada masa pemerintahan kolonial Belanda, di mana sistem hukum turut menjadi alat untuk menekan dan memberantas aksi perlawanan atau pemberontakan.

Pendekatan retributif memang berlaku untuk sejumlah kejahatan berat, seperti tindak pidana terorisme, keamanan negara, korupsi, dan terhadap nyawa orang. Namun, pendekatan ini dinilai tidak sesuai diterapkan bagi kasus anak yang berkonflik dengan hukum. Sistem peradilan pada anak saat ini lebih berorientasi pada pemulihan atau restorative justice.

Di tingkat internasional, upaya pemberlakuan keadilan restoratif pada kasus pidana yang melibatkan anak sebenarnya sudah berlangsung lebih dari satu abad. Hal ini ditandai dengan digagasnya draf Convention on the Rights of the Child atau Konvensi tentang Hak-hak Anak pada 1923 oleh Eglantyne Jebb, seorang tokoh reformasi sosial dari Inggris. Ia mulai mengampanyekan perlindungan hak-hak anak setelah mengetahui aksi blokade tentara Sekutu yang menyebabkan kelaparan pada anak-anak di Jerman dan Austria pada masa Perang Dunia I.

Kampanye dari Jebb itu kemudian mulai menyebar luas ke berbagai belahan dunia, termasuk Hindia Belanda. Pada tahun 1927, pemerintah kolonial Belanda mengeluarkan gouveernements besluit (keputusan pemerintah) mengenai pembentukan Centraal College voor Reclassering atau Dewan Pusat untuk Pemulihan Kembali. Sebagai pelaksana, diangkat pula ambtenaar der reclassering atau pejabat reklasering pada 1928 yang bertugas melakukan pendidikan paksa bagi anak-anak nakal dan pengawasan bagi orang yang dijatuhi pidana bersyarat (voorwaardelijke veroordeeling).

Pascakemerdekaan, Pemerintah Indonesia tetap mempertahankan adanya Jawatan Pendidikan Paksa dan Reklasering tersebut di bawah Kantor Besar Jawatan Kepenjaraan. Kesadaran bahwa anak-anak yang berkonflik dengan hukum perlu mendapat perlindungan khusus pun mengalami perkembangan. Salah satu upaya perlindungan ini tertuang dalam Surat Edaran Jaksa Agung No P.1/20 pada 30 Maret 1951.

Surat edaran tersebut menjelaskan bahwa upaya membawa anak yang melakukan tindak pidana ke pengadilan adalah upaya terakhir yang dilakukan (ultimum remidium). Sebelum membawa ke pengadilan, aparat penegak hukum harus memprioritaskan langkah-langkah penyelesaian lain yang dapat dipertimbangkan. Di samping itu, dibentuk pula lembaga Pra Yuwana pada 1957 oleh Departemen Kehakiman sebagai lembaga khusus yang dianggap layak menyelesaikan permasalahan anak yang berhadapan dengan hukum. Pada masa itu, batas usia anak berhadapan dengan hukum adalah di bawah 16 tahun.

Lantas, pada 1964, dibentuklah sistem pemasyarakatan dengan dibentuknya Balai Bimbingan Kemasyarakatan dan Pengentasan Anak (Bispa) yang berada di bawah Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Kehakiman. Bispa ini kemudian menjadi ujung tombak perlindungan hak anak yang berhadapan dengan hukum di Indonesia. Salah satunya adalah dengan menelusuri latar belakang kondisi sosial dan psikologis anak yang terlibat dalam tindak pidana. Hasil penelusuran tersebut kemudian dapat diserahkan kepada hakim untuk menjadi pertimbangan bagi kelanjutan pembinaan terdakwa anak (Kompas, 15/8/1991).

Upaya memperkuat perlindungan hak anak dalam sistem peradilan Indonesia selanjutnya ditunjukkan dalam Surat Edaran Mahkamah Agung No 6 Tahun 1987. Surat edaran tersebut lantas menjadi acuan tata cara persidangan terhadap anak. ParaHakim perlu mendalami unsur lingkungan, kejiwaan, dan unsur tindak pidana dari anak. Selain itu, menunjuk hakim yang layak dan mampu memperhatikan kepentingan anak serta memperdalam pengetahuan hakim melalui diskusi, literatur, atau lainnya.

Hak anak
Pada tahun 1989, Majelis Umum PBB akhirnya mengesahkan Konvensi tentang Hak-hak Anak yang telah digagas sekitar tujuh dasawarsa sebelumnya. Setahun berikutnya, Indonesia secara resmi meratifikasi Konvensi Hak Anak Indonesia melalui Keputusan Presiden (Keppres) No 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Convention on the Rights of the Child (Konvensi tentang Hak-hak Anak).

Peratifikasian itu menjadi tonggak baru penguatan perlindungan hak anak dalam sistem peradilan. Lima tahun berikutnya, yakni pada 1995, Pemerintah Indonesia mulai menggodok rancangan undang-undang yang mengatur peradilan anak secara khusus. Akhirnya, UU No 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak disahkan pada 3 Januari 1997. UU tersebut dinilai sebagai wujud modernisasi sistem pengadilan yang mengutamakan kepentingan anak.

Setelah 15 tahun berlaku, Indonesia semakin memperkuat perlindungan hak anak dengan mengeluarkan UU No 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Melalui instrumen hukum ini, pendekatan keadilan restoratif semakin diutamakan ketimbang keadilan retributif. Salah satunya adalah dengan memperbolehkan setiap instansi menerapkan restorative justice melalui proses diversi. Adapun proses diversi merupakan pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan.

Anak memang dapat melakukan tindakan kejahatan yang berpotensi menyalahi nilai-nilai kemanusiaan. Namun, hal ini tidak dapat menjadi alasan bahwa anak yang melakukan tindak pidana harus menghadapi peradilan hukum seperti halnya orang dewasa. Perlu selalu diingat bahwa anak belum dapat bertanggung jawab atas dirinya sendiri. Tindakan yang mereka lakukan merupakan tanggung jawab dari keluarga, masyarakat, hingga negara.

Oleh karena itu, hak-hak mereka tetap wajib dilindungi meski mereka melanggar hukum sekalipun. Hal ini penting diupayakan bersama demi menjaga generasi penerus bangsa yang lebih baik di masa mendatang. Tidak tertutup kemungkinan anak yang berkonflik dengan hukum dapat tumbuh dan berkembang menjadi generasi unggulan di masa depan. (LITBANG KOMPAS)

Editor:
BUDIAWAN SIDIK ARIFIANTO

Sumber: https://www.kompas.id/baca/riset/2023/08/28/dilema-penanganan-anak-berkonflik-dengan-hukum?open_from=Section_Riset