BEKERJA DAN BERBAKTI UNTUK KEMAJUAN KTI

dr. Mia Rumateray: Totalitas Sang Dokter Terbang di Tanah Papua

dr. Mia Rumateray: Totalitas Sang Dokter Terbang di Tanah Papua

Oleh: Sylvie Tanaga

Dokter Maria Louisa Rumateray (Dokter Mia) betul-betul total mengabdikan dirinya buat melayani orang-orang Papua. Selulus kuliah Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana (UKRIDA), ia langsung kembali ke wilayah kelahirannya di Wamena, Papua. Tekadnya kembali ke pedalaman untuk melayani orang-orang Papua sudah bulat. Tanpa gentar ia jelajahi belantara Papua demi menyelamatkan mereka yang tinggal di titik-titik paling terpencil seperti suku Mairasi di Kaimana, suku Korowai di Yahukimo, dan masyarakat Kampung Karabura di pedalaman Wondama.

Totalitas Dokter Mia tak main-main. Dua tahun silam, beberapa saat sebelum ayahnya dimakamkan, ia menerima telepon darurat. Seorang pilot memintanya segera mengudara untuk menolong seorang ibu yang tengah melahirkan bayi kembar. Seorang bayi meninggal, lainnya tertahan dalam perut karena terhalang plasenta. Terinspirasi ayahnya yang semasa hidup juga aktif melayani sebagai perawat, Dokter Mia memilih terbang –dengan risiko tak bisa ikut memakamkan ayahnya.

Di sela kesibukannya menyelesaikan semester pendek di program studi Kajian Administrasi Rumah Sakit Universitas Indonesia (UI), dokter Mia bersedia berbincang-bincang dengan saya di sebuah toko buku di Jakarta Pusat. “Maaf sekali saya terlambat!” ucap Dokter Mia, tak enak hati. “Saya baru selesai mandikan Afro, anjing kost-an saya,” ucapnya sambil memperlihatkan foto seekor anjing golden retriever berbulu coklat muda-putih –yang sudah dianggapnya sebagai sahabat.

Yang memotivasi Kak Mia menjadi dokter yang melayani di Papua?
Semua berawal dari papa dan mama. Papa saya adalah seorang perawat, mama apoteker. Papa dan Mama menamatkan sekolah Belanda sekitar tahun 1959. Waktu itu pihak gereja menawarkan perawat yang mau mengabdikan diri di pedalaman. Syaratnya, harus pergi dengan seorang sahabat wanita karena yang akan dimasuki adalah daerah Anggruk yang saat itu masih kanibal. Papa mau. Dia membawa sahabat wanitanya yang bekerja sebagai apoteker, yang kemudian jadi mama saya.

Sejak 1960, akhirnya mereka mengabdikan diri di pegunungan Papua. Jadi awalnya saya terinspirasi menjadi perawat karena melihat kehidupan Papa dan mama yang sehari-harinya melayani orang. Dalam hati, kok bisa sih papa membuat kebaikan-kebaikan? Kita juga nggak pernah kekurangan, nggak pernah kelaparan. Selalu saja ada berkat Tuhan buat kita.

Setamat SMP di Wamena, saya lanjutkan SMA ke Jayapura supaya dapat pendidikan yang lebih baik. Karena orang tua tinggal di tempat terpencil, saya masuk asrama putri pendeta Yan Mamoribo, disingkat “Yamo”. Asrama ini sangat disipilin, semua bekerja sesuai waktu yang sudah ditetapkan. Kami bangun pagi setelah bel berbunyi. Makan pagi, makan malam, dan waktu belajar juga dimulai dan diakhiri bunyi bel. Tepat pukul 10 malam, semua penghuni asrama mematikan lampu dan segera tidur.

Bangun-bangun sudah ada kegiatan seperti menyapu di dalam dan luar asrama, membuang sampah, memasak, cuci piring. Sebelum mengawali kegiatan di luar asrama, semua penghuni berkumpul di meja makan. Ada sekitar 10 meja makan yang bisa menampung 100 penghuni asrama buat makan pagi, juga doa dan kebaktian pagi. Di Asrama ini, kami benar-benar diajar disiplin, dan saling menghargai sesama penghuni asrama –apalagi latar belakang suku kami sangat beragam. Mereka bukan hanya sahabat tapi juga menjadi kakak-adik saya.

Pimpinan asrama kami adalah seorang wanita Belanda yang sudah mengabdikan dirinya puluhan tahun menjadi pelayanan perempuan Papua. Tak heran banyak sekali alumni Yan Mamoribo menjadi perempuan-perempuan berhasil baik di pemerintahan, swasta, maupun gereja. Tak sangka selama di asrama, keseharian saya selalu dipantau dan dievaluasi oleh ibu asrama saat itu yang kami panggil “Nona Ans”. Uianya sekarang 85 tahun. Beliau telah pensiun dan kembali ke Belanda.

Lalu, apa yang terjadi?
Peristiwa mengubahkan adalah ketika saya melihat koki asrama. Mama Yakoba namanya. Dia kena sakit kulit yang kami orang Papua biasanya sebut ‘kaskado’. Masak, garuk. Masak, garuk lagi. Kulitnya lepas-lepas di kuku. Kasihan sekali. Saya telepon papa, tanya obatnya. Papa bilang ada obatnya, tapi harus diperhatikan tiap minggu. Mama Yakoba semangat sekali. Begitu obat habis, dia minta lagi. Satu bulan bersih, tidak kaskado lagi.

Lama-lama satu asrama tahu kalau Mama Yakoba sembuh gara-gara obat dari seorang anak asrama yang bukan perawat. Seorang perawat senior Belanda yang galak sekali ikut dengar. Saya dipanggil. Disidang di depan ibu asrama. Sejak itu mungkin mereka mulai timbang-timbang kalau saya bisa jadi dokter. Saat saya tamat SMA, ibu asrama pensiun dan harus kembali ke Belanda. Dia ingin sekali menyekolahkan seorang wanita Papua dengan uang pensiunnya.

Ia ingin saya jadi dokter dan kembali melayani mama-mama dan anak-anak Papua. Mimpinya, 10 tahun ke depan ketika kembali ke Belanda, sudah ada penerus perempuan asli Papua yang meneruskan misi kemanusiaan. Singkat cerita, saya tes kedokteran, dinyatakan lulus, dan selama studi mendapat beasiswa dari ibu asrama.

Jadi kalau ada yang tanya apa motivasi saya jadi dokter, wah, orang lain saja sudah pikirkan saya 10 tahun kemudian bisa jadi apa –bahkan sebelum saya berpikir apa yang bisa saya lakukan untuk orang-orang saya sendiri. Ibu asrama yang orang Belanda ini buat saya adalah “tangan Tuhan”. Sekolah kedokteran itu mahal sekali! Paling tidak butuh Rp 100-200 juta. Itu sebabnya sampai sekarang saya tidak buka praktik sendiri tapi fulltime pelayanan.

Saya tidak membuka praktik pribadi karena masih melayani di Rumah Sakit dan daerah-daerah yang sulit dijangkau. Saya tidak mau praktik pribadi dengan mengambil uang pasien. Ibu asrama membiayai saya menjadi seorang dokter agar bisa melayani orang-orang Papua. Itu sebabnya saya harus meneruskan kasih dan kebaikan ini pada semua orang sakit yang sangat membutuhkan pelayanan.

Saya tidak salahkan teman-teman yang dibiayai orang tua. Mereka harus cepat-cepat praktik supaya bisa kembalikan duit ke orang tua. Tidak ada seorang pun menuntut saya mengembalikan biaya pendidikan, hanya perlu meneruskan kebaikan pada orang lain. Jadi saya teruskan saja kebaikan itu.

Langsung pulang melayani setelah lulus kuliah kedokteran?
Betul. Setelah lulus kuliah kedokteran di Jakarta, saya langsung kembali ke Papua. Kalau Tuhan berkehendak, saya mau jadi dokter terbang se-pegunungan Papua. Tuhan jawab doa saya. Ketika pulang, Kementerian Kesehatan sedang menjalankan program “Save Papua”. Seluruh tim takut sekali naik helikopter, saya justru mau pakai helikopter. Kenapa mesti takut? Kapan lagi melayani masyarakat gunung? Kami pun berangkat!

Selanjutnya, saya banyak melayani bersama Helivida, helikopter milik Yayasan Helivida yang sudah belasan tahun melayani masyarakat Papua. Kami sevisi dalam pelayanan kemanusiaan. Yayasan Helivida berbasis di Wamena dan beroperasi sejak 1998 saat terjadinya bencana kelaparan dan kekeringan di Yahukimo. Saat itu, pemerintah meminta mereka membantu distribusi makanan dan obat- oabatan.

Vida artinya “kehidupan” sehingga Helivida bermakna ”helikopter pemberi kehidupan”. Visi Helivida adalah membawa bantuan sosial, medis, dan spiritual kepada orang-orang di daerah terpencil. Helivida membantu mereka yang membutuhkan tanpa melihat agama. Helivida tentunya tidak terbang setiap hari, kecuali benar-benar ada kasus emergency.

Biasanya saya terbang hanya berdua saja bersama pilot. Sebelum terbang, biasanya diskusi rute dulu. Kalau cuaca buruk, pilot mempertimbangkan alternatif rute. Pelayanan ini tidak dibayar sepeser pun tapi ucapan terima kasih masyarakat adalah doa yang paling tulus.

 

dr. Mia bersama anak-anak suku Mairasi saat melakukan pelayanan kesehatan bersama Baliem Mission Center di Kampung Esrotnamba, pedalaman Kaimana. (Foto: Dok. pribadi dr. Mia Rumateray)

Waktu itu juga ada sesi konsultasi dengan dokter tiap hari Selasa lewat radio SSB (Single Side Band). Jadi hari itu semua channel dimatikan hanya untuk dengar dokter bicara. Semua titik radio SSB bisa mendengar supaya kalau ada kasus yang sama, pengobatannya bisa ikuti perintah dokter. Satu perintah: sakitnya ini, obatnya ini. Di luar Selasa, tidak tahu apa yang terjadi dengan masyarakat. Hanya Tuhan yang tahu.

Kampung Karabura terletak di perbatasan “leher burung”. Jadi kita ini sebetulnya sudah melayani antar kabupaten, bahkan antar provinsi. Pelayanan kemanusiaan tidak kenal sekat-sekat administrasi.

Penyakit yang paling banyak dijumpai selama pelayanan medis?
Daerah selatan di “leher burung” dan utara “ekor burung” berbeda karena topografi. Di daerah danau seperti Kampung Esrotnamba, rata-rata menderita penyakit kulit. Kalau di gunung kebanyakan ISPA dan filariasis atau kaki gajah. Malaria juga iya. Tapi suku Korowai hidup di pohon-pohon tinggi sehingga mereka sudah otomatis terproteksi dari nyamuk. Jarak terbang nyamuk kan nggak lebih dari dua-tiga meter. Ketika turun cari makan itulah mereka digigit.

Filariasis juga beredar karena nyamuk. Seseorang mendapatkan penularan filariasis bila digigit oleh vektor nyamuk yang mengandung larva infektif cacing filaria. Mekanisme penyebarannya, nyamuk mengisap darah orang yang mengandung microfilaria. Kasus kurang gizi juga banyak karena mereka bukan peladang tetap tapi nomaden. Hidupnya juga tidak berkelompok. Jarak antar rumah pohon bisa dua sampai tiga jam! Jadi pelayanannya memang sulit. Kami harus jalan dalam genangan rawa. Kami juga pernah jalan tujuh jam dari satu rumah pohon ke rumah pohon lain.

Rumah pohon suku Korowai itu menarik. Ada pintu depan dan belakang. Pintu belakang terbuka untuk siapa saja yang datang menginap, jam berapa pun. Tengah malam juga silakan. Di dalamnya sudah ada tungku. Silakan bikin api sendiri, bakar pisang sendiri. Jadi hubungan sosialnya sebetulnya sangat bagus. Hanya saja, silakan panjat rumah pohon setinggi itu.

Saya pernah mencoba naik walaupun awalnya sulit dibayangkan. Naik bisa, turun nggak bisa karena memang hanya ada sebatang kayu. Kaki kanan turun dulu, kaki kiri ikut. Kayunya goyang-goyang saat dipanjat. Tapi di dalam rumah sudah ada makanan untuk dibakar sendiri. Jadi sebetulnya ke kampung itu tak perlu kuatir makanan asal bisa makan yang dimakan masyarakat.

 

 dr. Mia Rumateray memeriksa seorang pasien di Kampung Esrotnamba, Kaimana. (Foto: (Foto: Dok. pribadi dr. Mia Rumateray)

Selain kondisi medan, tantangan apa yang banyak dialami ketika menjalankan pelayanan kesehatan di pedalaman Papua?
Orang-orang takut minum obat. Saya juga tanya dulu apa pantangannya ke kepala suku. Jika terjadi apa-apa setelah minum obat apakah kami kena denda? Umpamanya terjadi efek samping, apa tanggung jawab saya sebagai seorang dokter? Adakah tuntutan? Karena masih takut, kami hanya mengoleskan alkohol dan salep. Kalau hanya oles-oles mereka mau.

Tapi seorang ibu di Kampung Esrotnamba berani minum obat dengan percaya diri. Karena sebelumnya tidak pernah minum obat, tubuh bereaksi dengan cepat. Satu minggu saja sudah terlihat hasilnya. Akibatnya, saya dijuluki dokter garai. ‘Garai’ adalah istilah yang mereka gunakan untuk penyakit kulit. Kata mereka: “Eh, dokter garai datang, dokter garai datanggggg!”

 

dr. Mia sedang mengobati penderita sakit kulit atau “garai” dalam istilah setempat. Garai adalah jenis penyakit yang paling banyak dijumpai dr. Mia di Kampung Esrotnamba, Kaimana. (Foto: Dok. pribadi dr. Mia Rumateray)

Komunikasi pun terkadang sulit karena bahasanya berbeda. Hari pertama ke Esrotnamba, saya tidak lakukan apa-apa kecuali observasi, mengamati kegiatan mereka mulai sejak bangun pagi. Jam 4 subuh api menyala di seluruh rumah. Ibu-ibu masak air panas, rebus-rebus keladi, bakar-bakar pisang. Jam 5 sampai jam 6, anak-anak sudah makan semua.

Jam 6 lewat sedikit, ibu-ibu sudah pegang alat pancing, cari ikan. Jalan lebih jauh, sudah ke kebun petik daun singkong dan sayur-sayur lain sambil bawa anak. Kerja kebun selesai jam 11-jam 12 siang. Begitu kembali, ibu-ibu mulai masak lagi. Jam 2 sampai jam 3 sore, semua anak sudah makan. Lalu nggak ngapa-ngapain. Semua tenang. Tidur-tiduran, kena-kena angin danau. Saat itu barulah pengobatan dilakukan sehingga masyarakat lebih fokus.

Intinya kalau datang ke daerah baru, apalagi Papua, kita harus paham antropologi kesehatan. Kita harus tahu dulu budaya setempat, nggak bisa langsung datang dan paksa keinginan kita. Nggak ada cerita itu! Tidak bisa kita tiba-tiba bicara, “ibu-ibu, bapak-bapak, kira-kira besok jam berapa bisa kumpul?” Kita yang harus lihat mereka kosong jam sekian sampai sekian.

Penyakit apa yang paling banyak membunuh orang Papua?
HIV/AIDS. Itu peringkat nomor satu yang paling banyak membunuh orang Papua. Penderita HIV/AIDS menembus angka 35.000 orang di seluruh tanah Papua. Di Wamena saja, penderita HIV/AIDS menembus angka 7.000 orang. Lainnya adalah TB (tuberkolosis). Kalau dua penyakit ini jadi satu, ya selesai. Kombinasi keduanya adalah yang paling mematikan.

Kegiatan Kak Mia saat ini?
Sekarang saya sedang ambil semester pendek jurusan Kajian Administrasi Rumah Sakit (KARS) di S2 UI. Lucu sekali, saking sudah lama keluar masuk hutan sekarang saya jadi gaptēk, terlalu lama nggak ngetik. Hahahahahaha…

Agak lama ditinggal, sudah banyak masyarakat nangis-nangis, kasihan sekali. Saya bilang, “sabar, dokter masih sekolah.” Lalu mereka jawab, “adooo sekolah lama sekali. Su jadi dokter baru kenapa sekolah lagi eee? Tra capekkah sekolah-sekolah? Tolong kami saja sudah, kenapa pi sekolah lagi?”

Apa visi pelayanan Kak Mia ke depan?
Selain tetap menjalankan misi dokter terbang bersama Helivida, sekarang ini saya sedang merintis yayasan dengan teman-teman. Saya persembahkan halaman belakang rumah saya yang luas di Wamena untuk dibangun klinik gratis bagi orang-orang Papua. Pengalaman selama saya kerja di rumah sakit, rata-rata masyarakat Papua nggak puas ke Puskesmas. Mereka tahu dokter-dokter bagus ada di rumah sakit. Ada dokter tulang, dokter paru, dokter anak, dokter segala macamlah. Mereka tidak pakai istilah “dokter spesialis”.

Untuk ke rumah sakit pun mereka butuh 3-4 jam jalan kaki. Kalau mau sampai jam 7-8 pagi, artinya mereka harus sudah jalan sejak jam 4 subuh. Sampai rumah sakit, mereka duduk-duduk di halaman. Tidak ada dokter yang ajak ngobrol dan tanya mereka dari kampung mana, kapan datang. Rata-rata dokter kita ini kan tidak mau pelajari budaya setempat atau minimal merasakan keluhan mereka. 5W 1H-nya nggak dimainkan dengan baik.

Saya sendiri begitu dengar nama marga sudah bisa prediksi dari kampung mana dan butuh berapa jam jalan kaki. Beberapa merasa senang karena saya ajak keliling rumah sakit. Biasanya mereka bingung karena begitu sampai loket, petugas tanya mana surat rujukannya. Mereka datang dari kampung, mana tahu soal rujukan-rujukan kayak gitu. “Dokter, kami hanya datang ketemu dokter saja sampai jam 2 siang. Kami sudah lapar, makan di mana?”

Kalau klinik gratis ini bisa berdiri, surat-surat macam itu tidak lagi dibutuhkan. Mereka juga tidak perlu mengantri panjang. Kasihan, belum lagi kalau ada periksa-periksa darah. Mereka bisa datang jam berapa saja menceritakan keluhan, terus kasih obat dan pulang. Sederhana sekali. Saya juga ingin mereka dapat obat-obat terbaik sehingga tidak harus kembali lagi.

Peristiwa yang paling berkesan selama bertahun-tahun menjalankan misi pelayanan kemanusiaan di Papua?
Dua tahun lalu papa meninggal. Majelis gereja mau datang jam 11 pagi. Penutupan peti sekitar jam 12 siang, baru setelahnya pemakaman. Kami sedang berdoa khusus keluarga inti untuk persiapan jenazah, tiba-tiba telepon saya berdering. Di ujung telepon, pilot bicara. “Dokter Mia, kita harus berangkat pelayanan ke Agisiga.” Daerah Agisiga terletak di perbatasan tiga kabupaten besar yaitu Paniai, Timika, dan Jayawijaya.

Mendengar itu, mama saya yang berinisiatif. “Kamu harus segera pergi! Segera! Itu panggilan emergency. Pilot sudah telepon berarti beberapa menit lagi harus mengudara!” Akhirnya saya pergi dengan pesan: kalau saya tidak bisa kembali tepat waktu, tetap laksanakan pemakaman papa.

Penerbangan ke Agisiga dua jam lebih. Saat itu, cuaca Wamena luar biasa cerah. Pemandangan di depan mata sebetulnya sangat luar biasa. Pilot sampai bingung lihat saya lebih banyak diam dan melamun. “Kamu kelihatannya tidak tertarik dengan pemandangan di depanmu,” komentarnya. Ia tak tahu apa-apa, hanya diberitahu harus terbang. Sambil tertunduk lesu, saya ambil kamera dan foto-foto seadanya. Tidak gembira seperti biasanya. Begitu sampai Agisiga, masyarakat mengerubungi.

“Dokter harus turun kira-kira 30 menit lagi ke bawah karena pasiennya ada dalam gereja. Kami tidak bisa tandu ke atas dulu.”
“Saya harus ikut turun tidak?” tanya pilot.
“Kau tunggu di atas saja. Saya cepat, tidak lama.”

Kami turun dan lihat keluarga menangis-nangis. Anak-anak keluar. Pasiennya adalah seorang ibu yang sedang melahirkan bayi kembar. Satu meninggal, satu masih dalam perut. Plasentanya menghalangi jalan keluar anak. Begitu saya colok udah nggak bisa. Kalau saya colok lebih dalam, akan langsung muncrat dan bisa terjadi perdarahan. Ibu bisa mati dalam dua jam perjalanan. Satu-satunya cara harus SC (operasi sesar). Saya harus bikin keputusan cepat.

Saya langsung putuskan ibu itu harus dibawa ke Wamena. Keluarga minta agar pasiennya dibawa ke Timika karena di sana banyak keluarga mereka yang dapat menolong. Kalau dibawa ke Wamena, mereka khawatir tidak ada keluarga yang bisa mendampingi. Saya yakinkan bahwa di Wamena mereka akan mendapat keluarga baru dan dilayani dengan baik. Saya pun meyakinkan mereka kalau saya akan menolong jika mereka butuh sesuatu.

Waktu mau landing di Wamena, pilot melihat halaman rumah saya di kompleks Rumah Sakit dipenuhi tenda-tenda biru. Sang pilot yang masih belum tahu soal meninggalnya papa pun bertanya: “hari ini ada acara besar di rumah ya? Kelihatannya ada pesta…”

Setelah mengantar pasien ke UGD, barulah saya beritahu dia bahwa papa meninggal dan sebentar lagi akan dimakamkan. Mendengar itu, pilot berkebangsaan Amerika Serikat ini menaruh tangan kanan di dadanya dan sedikit membungkuk sambal menyampaikan turut berdukacita atas meninggalnya papa. “Misi kemanusiaan telah kita lakukan dengan baik hari ini, mari kita antar papamu ke tempat peristirahatan terakhirnya,” ujarnya.

Begitu saya masuk, semua jemaat heran. Papa meninggal dan mau dimakamkan kok saya tetap terbang? Pendeta langsung bicara bahwa misi kemanusiaan harus tetap dilaksanakan. Kita yang hidup akan menguburkan orang mati, tapi juga harus tetap melayani yang hidup.

 

Sumber: https://sylvietanaga.com/2018/07/19/dr-mia-rumateray-totalitas-sang-dokter-terbang-di-tanah-papua/