BEKERJA DAN BERBAKTI UNTUK KEMAJUAN KTI

Ironi Kemiskinan Wilayah Pesisir yang Kaya Potensi Ekonomi Kelautan

Seluruh kekayaan bahari di Indonesia belum mampu menunjang kesejahteraan masyarakat yang tinggal di tepian laut. Wilayah pesisir justru sebagian besar berada dalam kubangan kemiskinan.

Oleh
DEBORA LAKSMI INDRASWARI

Besarnya potensi kekayaan laut dan kawasan pesisir pantai di Indonesia tampaknya belum membuahkan hasil kesejahteraan bagi para nelayan yang bermukim di sekitarnya. Wilayah pesisir justru menjadi kantong-kantong kemiskinan ekstrem di Indonesia. Perlu perhatian serius dari berbagai pihak demi mengatasi tingginya tingkat kerentanan sosial-ekonomi masyarakat di kawasan tersebut.

Indonesia dianugerahi kekayaan alam laut yang berlimpah sehingga dijuluki negara maritim karena memiliki ruang dan kekayaan laut yang sangat besar. Dengan garis pantai sepanjang 95.181 kilometer, Indonesia menjadi negara dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia. Produksi perikanan tangkap sebanyak 6,43 juta ton pada 2020 menempatkan Indonesia sebagai negara dengan produksi perikanan tangkap terbesar kedua di dunia setelah China.

Hanya saja, seluruh kekayaan laut di Indonesia itu belum mampu menunjang kesejahteraan masyarakat yang tinggal di tepian laut. Wilayah pesisir yang secara geografis berada di dekat laut justru sebagian besar berada dalam kubangan kemiskinan. Padahal, kawasan pesisir ini sangat dekat dengan berbagai sumber daya laut bernilai ekonomi tinggi.

Pada 2021, tingkat kemiskinan ekstrem di wilayah pesisir mencapai 4,19 persen. Angka tersebut lebih tinggi dibandingkan tingkat kemiskinan ekstrem nasional yang sebesar 4 persen. Dari seluruh kemiskinan nasional yang mencapai 10,86 juta jiwa itu, sekitar 1,3 juta jiwa atau 12,5 persen berada di wilayah pesisir.

Kemiskinan di wilayah pesisir itu tidak lepas dari pola pekerjaan masyarakat pantai yang sebagian besar menggantungkan hidupnya pada sektor perikanan tangkap. Dari 12.510 desa yang berada tepi laut, sekitar 90 persennya memanfaatkan laut sebagai manfaat ekonomi. Hal lain adalah mengoptimalkan kawasan di sekitar pesisir untuk berbagai aktivitas ekonomi lainnya, seperti perikanan budidaya, tambak garam, wisata bahari, transportasi umum, dan budidaya mangrove untuk berbagai keperluan.

Kegiatan ekonomi yang sangat bergantung pada kemurahan alam tersebut relatif sangat rentan terhadap perubahan alam dan fluktuasi harga pasar. Hal ini menyebabkan penghidupan masyarakat pesisir tidak menentu sehingga berdampak pada kondisi perekonomian serta kesejahteraan mereka yang cenderung tidak stabil.

Fenemona tersebut salah satunya terlihat dari nilai tukar nelayan (NTN) yang menggambarkan tingkat kemakmuran masyarakat pesisir yang bekerja sebagai nelayan. NTN menjadi gambaran tingkat kesejahteraan nelayan yang diukur dari perbandingan harga yang diterima dengan harga yang dikeluarkan. Singkatnya, NTN dipakai sebagai pendekatan untuk mengetahui kemampuan nilai tukar ikan hasil tangkapan dengan barang atau jasa untuk memenuhi keperluan atau kebutuhan konsumsi rumah tangga nelayan.

Menurut data Statistik Sumber Daya Laut dan Pesisir, pada tahun 2022 NTN berada pada skor 106,45. Hal ini mengindikasikan bahwa nilai tangkapan nelayan mengalami surplus dibandingkan nilai konsumsinya karena melebihi standar skor 100. Artinya, kehidupan nelayan relatif cukup sejahtera. Kondisi ”sejahtera” ini berlangsung setidaknya sejak 2019 karena NTN juga menunjukkan skor di atas 100, yakni tepatnya sebesar 100,23.

Skor NTN pada 2022 sebesar 106,45 menunjukkan bahwa kesejahteraan nelayan mengalami peningkatan dibandingkan kondisi 2019. Hanya saja, hal ini relatif semu karena nyatanya ketika terjadi gejolak harga, kondisi kesejahteraan nelayan rentan mengalami penurunan.

Salah satu contohnya terlihat ketika harga BBM naik pada awal September 2022 turut berdampak pada turunnya NTN. Skor NTN turun 1,84 poin dari 107,21 pada Agustus 2022 menjadi 105,24 pada September 2022. Artinya, tingkat kesejahteraan nelayan relatif belum stabil meskipun NTN lebih dari skor 100.

Faktor eksternal
Selain biaya operasional nelayan yang fluktuatif, sejumlah faktor eksternal lain turut mendorong kondisi masyarakat pesisir tetap miskin. Dalam jurnal berjudul ”Studi Kualitatif tentang Jebakan Kemiskinan pada Masyarakat Pesisir di Pasuruan, Jawa Timur”, ada dua faktor eksternal yang menyebabkan kemiskinan di rumah tangga masyarakat pesisir di wilayah tersebut.

Pertama, ketergantungan nelayan atau masyarakat pesisir terhadap sumber daya laut. Hal ini memang sudah sewajarnya sebagaimana karakteristik masyarakat yang berada di dekat sumber daya alam. Hanya saja, sumber daya laut semakin menipis jumlahnya atau tidak menentu tergantung musim dan cuaca. Akibatnya, hasil tangkapan ikan relatif tidak pasti dan kian sulit. Nelayan pun harus memperluas wilayah tangkapannya agar tidak pulang sia-sia tanpa hasil tangkapan.

Namun, upaya optimal para nelayan tersebut belum membuahkan hasil yang menggembirakan. Setiap hari, nelayan bisa mendapatkan uang berkisar Rp 50.000-Rp 70.000. Itu pun jika sang nelayan mendapatkan ikan.

Bagi nelayan ABK, pendapatan yang diterima lebih sedikit dari nominal itu. Biasanya, upah ABK nelayan selama 12 jam melaut hanya berkisar Rp 15.000 hingga Rp 20.000.

Tidak ada jaminan bahwa setiap melaut mereka akan mendulang hasil tangkapan karena cuaca yang juga tidak menentu. Jika cuaca ekstrem , mereka terpaksa tidak melaut, yang berarti tidak ada pendapatan pada saat itu.

Faktor kedua adalah ketergantungan nelayan terhadap pemilik modal. Keterbatasan biaya operasional sering membuat nelayan harus berutang kepada pemilik modal yang notabene adalah para agen atau tengkulak.

Imbasnya, nelayan harus menjual tangkapannya kepada tengkulak yang memberi utang tersebut. Sering kali hasil tangkapan nelayan ini dibeli dengan harga murah sebagai wujud balas budi si nelayan. Hal ini bagaikan lingkaran setan yang tidak ada ujungnya yang membuat kondisi masyarakat pesisir terus berada dalam naungan kemiskinan.

Lantas bagaimana dengan masyarakat pesisir yang bergantung pada sektor usaha lainnya, seperti budidaya ikan atau tambak? Kondisinya pun tidak jauh berbeda dengan mereka yang berprofesi sebagai nelayan tangkap. Ketidakpastian dan rendahnya harga jual, tingginya risiko usaha, dan ancaman faktor lingkungan juga menekan usaha mereka.

Nasib sedikit beruntung bisa dirasakan masyarakat pesisir yang berada di kawasan wisata. Pariwisata bahari di sebagian besar daerah pesisir memang memberikan dampak positif bagi masyarakat sekitarnya. Walaupun terkadang bukan menjadi sumber penghidupan utama, setidaknya warga kawasan wisata mendapat tambahan pendapatan dari kegiatan liburan itu.

Perhatian pada pesisir
Rentannya kehidupan masyarakat pesisir yang menempatkan mereka dalam hidup yang pas-pasan tentunya membutuhkan perhatian khusus dari pemerintah. Hanya saja, selama berpuluh-puluh tahun, pembangunan dan pengembangan wilayah terlalu fokus pada daratan. Kawasan pesisir dan laut pun jauh tertinggal sehingga berdampak pada kesejahteraan masyarakat di sekitarnya.

Ironisnya, sejumlah program dan kebijakan yang dikeluarkan pemerintah justru dinilai memberatkan masyarakat pesisir. Misalnya kebijakan ketentuan Pajak Negara Bukan Pajak (PNBP) yang dirasa tidak memihak kepada nelayan.

Dalam PP Nomor 85 Tahun 2021 ditetapkan bahwa kapal ukuran di atas 60 gross tonnage (GT) dikenai tarif 10 persen. Sementara itu, kapal berukuran 60 GT dan di bawah 60 GT dikenai tarif 5 persen. Dengan kondisi terpuruk selama pandemi dan beban kenaikan harga BBM, kebijakan tersebut kian membebani kondisi perekonomian nelayan dan pelaku usaha perikanan.

Di sisi lain, program dan kebijakan pengembangan wilayah pesisir justru kerap ”meminggirkan” kepentingan masyarakat pesisir. Proyek-proyek seperti reklamasi, pertambangan, hingga pariwisata sering mengabaikan suara masyarakat dan membatasi ruang penghidupan warga pesisir. Ditambah lagi, degradasi lingkungan berupa pencemaran hingga kerusakan kawasan menjadi imbas dari pembangunan dan pengembangan wilayah pesisir yang merugikan masyarakat.

Kini, beban masyarakat pesisir kian bertambah seiring dengan meningkatnya dampak krisis iklim. Mereka rentan terdampak bertambannya tinggi permukaan air laut yang kian menyusutkan area kawasan pesisir pantai. Akan banyak area budidaya perikanan dan kegiatan ekonomi lainnya terancam akibat peningkatan tinggi muka air laut tersebut.

Oleh karena itu, sangat penting untuk lebih mengintensifkan perhatian bagi kawasan pesisir berikut masyarakat yang bermukin di sana. Upaya ini turut menentukan nasib mayoritas penduduk Indonesia di masa depan karena sekitar 60 persen di antaranya berada dalam radius 50 kilometer dari garis pantai.

Pesisir dan laut Indonesia sudah seharusnya menjadi kekuatan bangsa dan sekaligus menjadi menopang kehidupan dan kesejahteraan masyarakat. Jangan sampai besarnya potensi pesisir dan laut Indonesia hanya menjadi cerita yang membanggakan, tetapi tidak berdampak nyata bagi kesejahteraan masyarakat. (LITBANG KOMPAS)

Artikel ini bersumber dari https://www.kompas.id/baca/riset/2023/01/25/ironi-kemiskinan-wilayah-pesisir-yang-kaya-potensi-ekonomi-kelautan?utm_source=newsletter&utm_medium=mailc...