BEKERJA DAN BERBAKTI UNTUK KEMAJUAN KTI

Maria Loretha, Sorgum, dan Kisah Pengorbanan Nyawa Tonu Wujo

Maria Loretha, Sorgum, dan Kisah Pengorbanan Nyawa Tonu Wujo
National Geographic Indonesia - Selasa, 26 Maret 2019 | 12:03 WIB

Nationalgeographic.co.id - Mendengar nama sorgum, tanaman yang kini mulai diminati oleh para petani di Flores Timur dan daerah Nusa Tenggara Timur lainnya, mungkin bagi sebagian orang menjadi pengingat perjuangan Maria Loretha.

Wanita berumur 46 tahun yang akrab dipanggil dengan sebutan Mama Sorgum ini dengan giat ingin membuat sorgum kembali menjadi panganan masyarakat lokal. Demi tujuan ini, ia rela menukarnya dengan keringant dan air mata.

Kerja kerasnya berkali-kali diganjar penghargaan pangan, baik tingkat lokal, nasional, maupun internasional.

Kesuksesan Mama Tata—sebutan lain untuk Maria Loretha—sebenarnya tidak terlepas dari ingatan kolektif masyarakat Flores Timur tentang legenda Tonu Wujo. Cerita ini berasal dari suku Lamaholot yang mendiami daratan Flores Timur, Pulau Adonara, Lembata sampai Alor.

Konon, dahulu kala ada seorang perempuan yang mengorbankan dirinya agar semua anggota keluarganya tidak mati kelaparan pada pertengahan musim kering hebat yang menimbulkan paceklik.

“Cerita Tonu Wujo ini macam-macam versi,” jelas Romo Benyamin Daud (44). Setiap daerah di Flores Timur memiliki versinya masing-masing tentang perempuan yang bernama Tonu Wujo ini. Banyak yang meyakini mitologi ini berasal dari daratan Flores Timur, bukan dari kepulauan.

Romo Benya, begitu panggilannya, adalah seorang pastor dari Keuskupan Larantuka. Melalui Yayasan Pembangunan Ekonomi Keuskupan Larantuka (Yaspensel) yang ia dirikan, Romo Benya ditugaskan untuk memberdayakan para petani dan panganan lokal di Flores Timur.

“Ada cerita tradisi di Flores ini tentang satu keluarga, tujuh bersaudara. Satu di antaranya adalah perempuan, Tonu Wujo,” tutur Romo Benya.

Tibalah pada musim paceklik, kekeringan terjadi dan menyebabkan ketiadaan pangan. Semua penduduk kelaparan. Sesuai dengan kepercayaan masa lalu, kondisi ini memerlukan tumbal untuk menghilangkan hal yang dianggap sebagai malapetaka ini.

Maka Tonu Wujo kemudian rela mengorbankan dirinya agar semua anggota keluarganya selamat dari bencana kelaparan. “Akhirnya mereka mengantar adik perempuannya ke ladang untuk dibuat upacara,” lanjut Romo Benya. Meski begitu, anggota keluarga Tonu Wujo juga dikisahkan sangat berat hati untuk mengorbanan saudarinya.

Sebelum pengorbanan terjadi, Tonu Wujo berpesan bahwa nanti akan tumbuh semua jenis tanaman pangan seminggu setelah kematiannya. Kemudian masih dalam cerita yang sama, munculah berbagai tanaman pangan dari tubuhnya yang terbaring di ladang.

“Darahnya menjadi padi, tulang belulangnya menjadi sorgum. Sehingga disebut Wata Belolong (bahasa Lamaholot) karena dia tinggi seperti tulang-tulang,” cerita Romo Benya dengan penuh semangat. Ususnya menjadi jewawut, kuku dan rambutnya menjadi tanaman buah-buahan. Seperti tomat dan lain-lain.

“Ada benih padi yang dari darah disimpan, akhirnya berkembang sampai saat ini dikenal dengan benih padi Besi Pare Tonu Wujo di sini,” ucap Romo Benya.

Hingga kini, benih Besi Pare Tonu Wujo masih menjadi benih andalan warga Flores Timur. Bagi masyarakat setempat, benih lokal lebih tahan hama dan lebih tahan ketika disimpan dalam jangka panjang. Meski begitu, waktu panennya tidak secepat dan sesering benih padi saat ini.

Dengan latar belakang kisah ini, tidak heran bila perjuangan Mama Tata mendapat tempat khusus di hati para petani Flores Timur.

https://nationalgeographic.grid.id/read/131677429/maria-loretha-sorgum-dan-kisah-pengorbanan-nyawa-tonu-wujo?page=all