BEKERJA DAN BERBAKTI UNTUK KEMAJUAN KTI

Menggandeng Komunitas Cegah Perkawinan Anak

Pemahaman bahwa perkawinan anak merupakan salah satu dari bentuk tindak kekerasan terhadap anak masih belum disadari oleh masyarakat di Indonesia. Banyak anak di Indonesia yang menikah di bawah usia 18 tahun karena sebuah kondisi tertentu, beberapa diantaranya adalah karena permasalahan ekonomi, telah melakukan hal yang tidak sesuai dengan norma maupun dikarenakan masalah budaya ataupun norma agama. Di tahun 2020-2021 juga ditemukan puluhan ribu perempuan di bawah usia 18 tahun di Asia dipaksa menikah karena Pandemi Covid-19.

Menurut penelitian yang dilakukan Tulodo di Bone, Sulawesi Selatan pada tahun 2019, dampak perkawinan anak yang dapat terjadi adalah gangguan kesehatan mental, perselisihan, perceraian, ketidakstabilan ekonomi dan gangguan kesehatan ibu dan anak, dan putus sekolah. Gangguan kesehatan mental biasanya terjadi pada pernikahan yang terjadi akibat paksaan dari lingkungan di sekitarnya. Selain itu banyak anak di bawah umur yang juga tidak bahagia serta sering mengalami perselisihan dengan pasangannya dan tidak jarang terjadi perceraian.

Kesadaran banyak pihak tentang bahaya perkawinan anak sangatlah penting dan perlu terus ditingkatkan apalagi jika kita melihat tren perkawinan anak, seperti yang terjadi di Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan. Angka dispensasi perkawinan anak di Bone mulai dari tahun 2016 sampai tahun 2019 mencapai total 700 dispensasi. Sedangkan selama masa pandemi COVID-19 (tahun 2020-2021) ditemukan sebanyak 198 dispensasi yang diberikan kepada anak. Meski mengalami penurunan pada masa pandemi akan tetapi angka dispensasi masih tergolong tinggi.

Gambaran tersebut menunjukkan bahwa angka perkawinan anak di Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan masih cukup memprihatinkan. Salah satu penyebabnya adalah informasi mengenai dampak atau bahaya dari perkawinan anak yang masih belum banyak diketahui oleh masyarakat. Peran tokoh masyarakat maupun tokoh agama juga masih kurang dalam menyebarkan pesan pentingnya pencegahan perkawinan anak.

Berangkat dari hal tersebut kita harus lebih gencar dalam peningkatan penyampaian informasi mengenai dampak perkawinan anak kepada masyarakat terutama orang tua sebagai pengambil keputusan dalam perkawinan anak yang terjadi di keluarganya. Peningkatan informasi ini perlu menggunakan pendekatan komunitas yang interaktif, inovatif dan mempertimbangkan nilai maupun norma sosial dan agama yang dianut oleh masyarakat.

Kita bisa melihat hasil monitor dan evaluasi dari Gerakan BERANI yang didanai oleh Pemerintah Kanada untuk mengajak komunitas terlibat dalam pencegahan perkawinan anak, pada 6 desa piloting di Kabupaten Bone. Hasil dari Gerakan BERANI menunjukkan bahwa ke-6 desa piloting mengalami peningkatan pengetahuan sebanyak 30% terkait perkawinan anak dan Manajemen Kebersihan Menstruasi (MKM). Peningkatan ini terjadi karena adanya kegiatan bersama dengan komunitas menggunakan materi inovatif dan interaktif seperti alat bantu komunikasi berbentuk papan permainan yang dapat digunakan oleh orang tua untuk mengajarkan dampak perkawinan anak. Alat bantu seperti panduan dakwah juga dapat digunakan oleh Ustazah untuk menyebarkan pesan pentingnya pencegahan perkawinan anak. Alat bantu yang telah dikembangkan oleh Gerakan BERANI dilengkapi dengan topik manajemen kebersihan menstruasi, pencegahan kehamilan usia dini, pencegahan perkawinan anak dan pentingya pendidikan.

Penelitian tahun 2021 yang dilakukan Tulodo menemukan sebuah kasus dimana ada seorang ibu di Desa Lilina Ajangale yang membatalkan niat untuk menikahkan anaknya karena ibu tersebut pernah mengikuti kegiatan Badan Kontak Majelis Taklim (BKMT) yang membahas terkait Pencegahan perkawinan anak. BKMT adalah salah satu komunitas yang mendapatkan informasi dampak perkawinan anak di Gerakan BERANI. Seperti yang dikatakan oleh seorang anggota BKMT: “…Mungkin juga orang tuanya sudah paham tentang hal itu [pencegahan perkawinan anak], karena dulu ada pertemuan untuk BKMT toh, [program] sosial, ekonomi, saya terjunkan semua orang tua… Mungkin dia paham sisi negatif-nya menikah dibawah usia, mungkin itu salah-satu alasannya mengapa tidak terjadi” (pernyataan disempurnakan oleh penulis).

Selain BKMT, organisasi kemasyarakatan lainnya seperti Pusat Pembelajaran Keluarga (PUSPAGA), Kelompok Tani, Kelompok Kerja (POKJA) Desa Sehat, Kader PKK dan posyandu juga terlibat aktif dalam upaya pencegahan perkawinan anak di Kabupaten Bone.

Agar kesadaran untuk pencegahan perkawinan anak muncul seperti yang ditemui di Desa Lilina Ajangale, pemerintah daerah Kabupaten Bone harus turut melibatkan komunitas yang ada di masyarakat untuk melakukan pencegahan perkawinan anak. Keterlibatan komunitas dilakukan dengan memperkuat sosialisasi dan memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk terlibat aktif dalam berinteraksi dan berinovasi. Dengan demikian upaya pencegahan perkawinan anak dapat berdampak lebih besar dan berkelanjutan.

 

Sumber: https://tulodo.com/2021/10/01/menggandeng-komunitas-cegah-perkawinan-anak/