BEKERJA DAN BERBAKTI UNTUK KEMAJUAN KTI

Pencegahan Perkawinan Anak

Semua Berawal dari Sebuah Pesan

Agnes Alvionita untuk PUSKAPA

Perjuangan berbagai lembaga nirlaba, aktivis, pemerintah, dan organisasi perlindungan anak dalam mewujudkan pencegahan perkawinan anak telah melewati jalan panjang yang penuh kerikil. Ditetapkannya UU no. 16 tahun 2019, yang mengatur batas usia perkawinan menjadi 19 tahun bagi laki-laki dan perempuan, seakan membawa angin sejuk dalam napas perjuangan ini. Perubahan batas usia perkawinan memang patut dirayakan mengingat kesulitan yang harus kita lalui untuk mencapainya. Lantas apakah perjuangan kita dalam mencegah perkawinan anak sudah selesai?

Bagi saya, pencegahan perkawinan anak di Indonesia belum dapat dikatakan tuntas hanya dengan penetapan regulasi baru. Studi Pencegahan Perkawinan Anak yang dilakukan oleh PUSKAPA bersama BPS dan UNICEF (2020) menunjukan bahwa perkawinan anak didorong oleh banyak faktor lain di luar kebijakan struktural. Praktik perkawinan anak juga berkaitan erat dengan latar belakang pendidikan, kondisi ekonomi, lokasi tempat tinggal anak, dan pengaruh dari tradisi serta agama (PUSKAPA, 2020). Temuan ini menekankan bahwa regulasi saja tidak cukup untuk menekan angka perkawinan anak.

Salah satu cara yang selama ini dilakukan untuk menggaungkan pencegahan perkawinan anak adalah melalui kampanye sosial. Cara ini tidak hanya dilakukan oleh komunitas dan lembaga nirlaba saja, tetapi juga menjadi salah satu strategi pemerintah dalam mencegah perkawinan anak. Malhotra (et al., 2011) mengidentifikasi bahwa dari berbagai program pencegahan perkawinan anak, yang dilakukan berbagai lembaga dari seluruh dunia, hanya sedikit yang membahas pencegahan perkawinan anak secara khusus. Kebanyakan program pencegahan perkawinan anak yang dilakukan sampai akhir tahun 2010 menggabungkan pencegahan perkawinan anak dengan tujuan lain, seperti penghapusan kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan. Selain itu, program pencegahan perkawinan anak yang ada juga seringkali tidak mengindahkan faktor tradisi, agama, pendidikan, dan geografis yang mendorong terjadinya perkawinan anak (Malhotra et al., 2011).

Berdasarkan pengamatan saya, program pencegahan perkawinan anak yang dilakukan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) kebanyakan bersifat makro. Menurut informasi yang dilansir dari laman resmi Kemen PPPA, ada dua gagasan program pencegahan perkawinan anak yang diluncurkan oleh Kemen PPPA pada tahun 2020 ini, yaitu Dokumen Strategi Nasional Pencegahan Perkawinan Anak (Stranas PPA) dan Gerakan Bersama Pencegahan Perkawinan Anak (GEBER PPA). Stranas PPA merupakan inisiatif dari Kementerian PPN/Bappenas yang dimulai dengan mengumpulkan, mengolah dan menerbitkan data perkawinan anak di Indonesia di tingkat nasional dan provinsi. Data ini diharapkan dapat mendukung penyusunan kebijakan, program, dan pembangunan yang berkaitan dengan pencegahan perkawinan anak. Sementara itu, melalui GEBER PPA, Kemen PPPA bersama dengan 20 provinsi telah menandatangani Pakta Integritas Pencegahan Perkawinan Anak sebagai komitmen untuk memberantas perkawinan anak sampai ke daerah.

Sejalan dengan amatan Malhotra (et al., 2011), program-program yang diluncurkan oleh Kemen PPPA masih belum berhasil untuk membahas faktor lain yang mendukung terjadinya perkawinan anak dan hanya membahas permasalahan di tataran makro. Biasanya program-program yang dijalankan hanya fokus pada melarang perkawinan anak. Masalah lain yang berkaitan dengan perkawinan anak, seperti paham-paham adat, budaya, dan agama, seringkali tidak diindahkan. Hal ini dapat dipahami, karena Kemen PPPA sebagai instrumen pemerintah pusat harus bertanggung jawab pada level nasional. Sehingga, masalah yang dijawab cenderung bersifat universal dan, sayangnya, seringkali tidak kontekstual. Malhotra (et al., 2011) menjelaskan bahwa program pencegahan perkawinan anak memang seringkali kesulitan menyeimbangkan kedalaman pemahaman terhadap masalah perkawinan anak dan lingkup cakupan program. Program-program berskala makro dianggap belum membahas masalah perkawinan anak secara mendalam, sehingga gagal untuk memahami akar permasalahan di level akar rumput. Sebaliknya, program pencegahan perkawinan anak yang tersegmentasi seringkali mengalami kesulitan untuk dapat diimplementasikan ke skala yang lebih besar.

Berusaha mengambil sudut pandang yang berbeda dengan Kemen PPPA, Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) meluncurkan inisiatif Program Generasi Berencana (GenRe). Program ini menyasar kelompok remaja dalam rangka mempersiapkan kehidupan berkeluarga yang terencana. Salah satu misi dari Program GenRe adalah pendewasaan usia pernikahan. Dengan pendewasaan usia pernikahan, remaja dianggap dapat melangsungkan pendidikan, karir, dan pernikahan dengan lebih terencana. GenRe mengembangkan materi-materi yang berkaitan dengan perencanaan masa depan seperti pendidikan kesehatan reproduksi, persiapan kehidupan berkeluarga, serta kependudukan dan pembangunan keluarga. Untuk menyebarkan pesan ke kalangan remaja, BKKBN melantik kaum muda dari setiap provinsi sebagai Duta GenRe. Teliana Juwita, Duta GenRe Indonesia 2019, menjelaskan bahwa program GenRe berfokus pada ketahanan remaja, sehingga pesan yang disebarkan tidak hanya fokus pada satu permasalahan terkait perkawinan usia dini. Terkait dengan perubahan batas usia pernikahan, Teli, menyatakan bahwa GenRe masih belum puas. GenRe sendiri merekomendasikan usia pernikahan minimal 21 tahun untuk perempuan dan 25 tahun untuk laki-laki. Usia tersebut dianggap ideal dari segi kesehatan reproduktif, kemapanan mental, serta literasi finansial. Sebagai Duta GenRe, Teli bertugas mengkampanyekan rekomendasi dan berbagai program yang dirancang oleh GenRE ke sekolah-sekolah dan komunitas kaum muda di seluruh Indonesia.

Duta GenRe adalah tiang-tiang pemancar pesan BKKBN pada para remaja. Selain itu, GenRe juga melibatkan banyak orang muda sebagai Konselor Sebaya (KS) yang bertugas mendampingi remaja yang menghadapi permasalahan terkait isu-isu asuhan GenRe. Langkah BKKBN untuk melibatkan anak muda dalam program GenRe merupakan inovasi yang baik. Dengan melibatkan orang muda, pesan yang berusaha disampaikan oleh GenRe tentunya akan lebih mudah untuk diterima kelompok remaja.

Muriaas (et al., 2019), dalam sebuah studi terhadap kampanye pencegahan perkawinan anak di Malawi, menemukan bahwa pembawa pesan berperan penting dalam kesuksesan kampanye pencegahan perkawinan anak. Pada kasus di Malawi, Muriaas (et al., 2019) menemukan bahwa kampanye pencegahan perkawinan anak lebih dapat diterima oleh masyarakat ketika disampaikan oleh pemuka adat perempuan. Hal ini diduga terjadi karena masyarakat Malawi, khususnya yang tinggal di daerah rural, lebih mempercayai pemuka adat perempuan daripada anggota parlemen yang mengkampanyekan pencegahan perkawinan anak.

Program GenRe saya kira sudah mengambil satu langkah lebih maju dibanding lembaga lainnya dengan melibatkan orang muda sebagai pembawa pesan pencegahan perkawinan. BKKBN mempertimbangkan pentingnya kedekatan program dengan kaum muda yang menjadi fokus sasaran mereka, sehingga pesan yang dibuat oleh GenRe pun dianggap lebih relevan bagi orang muda. Dengan berkurangnya jarak antara pesan yang dibawa dan audiens yang dituju, pencegahan perkawinan anak pasti dapat lebih mudah dipahami urgensinya oleh orang muda. Program GenRe mungkin belum dapat menjawab permasalahan perkawinan anak dalam lingkup lain seperti dari tingkat struktural, adat, dan keyakinan. Namun, program ini dapat menjadi contoh baik bagi perkembangan kampanye pencegahan perkawinan anak.

Penelitian Muriaas (et al., 2019) juga menunjukan bahwa penting bagi penyelenggara program untuk mengantisipasi cultural backlash. Muriaas (et al., 2019) menjelaskan bahwa masyarakat seringkali bereaksi secara negatif dalam menanggapi kampanye hak asasi manusia. Hal ini dapat terjadi akibat adanya tabrakan antara ide yang dikampanyekan dengan budaya yang dipahami oleh masyarakat selama ini, sehingga justru membuat masyarakat semakin menentang ide yang dikampanyekan. Di Indonesia sendiri, narasi pencegahan perkawinan anak seringkali kalah dengan kampanye menikah muda yang diusung oleh kelompok religius konservatif. Pesan-pesan untuk menikah muda saat ini disebarkan oleh berbagai aktor, mulai dari individu, pemuka agama, public figure, hingga komunitas, secara masif di media sosial. Untuk itu, penting bagi pembuat kebijakan agar dapat mengembangkan program pencegahan perkawinan anak menggunakan pendekatan kultural dan memberdayakan agen-agen akar rumput.

Poin-poin tersebut dapat menjadi pertimbangan, tidak hanya bagi pemerintah pusat, tetapi juga siapa saja yang ingin mengkampanyekan pencegahan perkawinan anak. Langkah pertama yang dapat dilakukan oleh pembuat kebijakan adalah untuk menyusun solusi berdasarkan masalah yang dapat menyentuh semua kelompok sasaran. Jika hal tersebut sudah diupayakan, langkah selanjutnya yang harus kita tempuh adalah merumuskan pesan yang relevan dan menentukan siapa yang akan menyuarakan pesan tersebut. Kita harus dapat memahami karakteristik kelompok yang disasar dan mengemas pesan yang dibawa sesuai dengan karakteristik tersebut.

Salah satu usulan yang diberikan oleh Communication for Change (C4C) terkait dengan strategi komunikasi pencegahan anak adalah dengan mengubah narasi anti perkawinan muda. C4C mengusulkan narasi di mana kita tidak hanya menentang perkawinan anak, tetapi lebih fokus untuk menekankan kebaikan apa saja yang dapat diperoleh apabila anak-anak tidak menikah di usia muda. Langkah GenRe dengan memilih kaum muda sebagai pembawa pesan juga dapat dicontoh untuk membangun kedekatan dengan sasaran kampanye yang diharapkan. The messenger matters.
Terakhir, kita tetap harus menyadari bahwa kampanye sosial dapat menimbulkan reaksi negatif dari masyarakat. Maka dari itu, sebagai pembuat program, kita harus dapat mengantisipasi reaksi tersebut dengan memahami nilai-nilai kultural yang dipegang oleh masyarakat setempat. Mengemas permasalahan kompleks, seperti perkawinan anak, ke dalam kampanye yang sesuai dengan konteks masyarakat memang tidak mudah. Namun, apabila cara ini dapat mengembangkan program pencegahan perkawinan anak ke arah yang lebih baik, mengapa tidak?

 

Sumber: https://medium.com/@puskapa/pencegahan-perkawinan-anak-7c591aff0442