Peran ayah dan ibu sama-sama penting untuk mengasuh anak, termasuk anak yang didiagnosis mengalami stunting. Kerja sama ayah dan ibu diharapkan mampu mendorong kesehatan anak secara optimal.
SEKAR GANDHAWANGI
Di sebagian rumah tangga Indonesia, ayah tidak banyak terlibat dalam pengasuhan anak. Tugas itu secara otomatis diserahkan pada ibu yang juga bertanggung jawab atas pekerjaan rumah tangga. Beban ibu bakal semakin besar jika anaknya mengalami stunting sebab anak akan rentan sakit dan butuh perhatian ekstra. Peran ayah sangat dibutuhkan agar ibu tidak burnout sendirian.
Nurjanah (16) menanggapi Rafka (1) seadanya saat anaknya itu berguling di kasur, meminta disusui, atau saat anaknya berjalan tertatih-tatih ingin keluar dari kamar tidur. Energi perempuan asli Jakarta itu terkuras untuk mengurus rumah dan mengasuh anak. Belum lagi, anaknya belum lama keluar opname dari rumah sakit.
Di rumah itu hanya ada mereka berdua. Suami Nurjanah sedang bekerja sebagai sopir dan baru akan kembali setidaknya saat matahari terbenam. Suaminya bekerja hampir selama 12 jam sehari dan selama itu pula Nurjanah mengasuh Rafka sendirian. Namun, bukan berarti saat pulang suaminya akan turut membantu mengasuh anak. Kata Nurjanah, suaminya kerap tidur di rumah.
“Saya juga pingin banget dibantu suami. Di rumah sakit saya lihat orang-orang lain ada suaminya,” katanya di kawasan Cakung, Jakarta Timur, Sabtu (8/4/2023).
Tanggung jawab ibu berusia remaja itu bertambah saat anaknya didiagnosis tuberkulosis (TB) tahun lalu. Menyuapkan obat selama enam bulan ke anaknya bukan hal mudah. Ia mesti menggendong anaknya dengan bedong, lalu menyendokkan obat ke mulut anaknya yang rewel.
Selain TB, anaknya juga mengalami stunting atau gangguan tumbuh kembang akibat kurang gizi kronis dan infeksi berulang. Ini berarti Nurjanah mesti memperhatikan betul asupan gizi Rafka. Ia juga mesti rutin membawa anaknya ke posyandu.
“Suami saya belum tahu anak stunting. Nanti kami berantem lagi kalau dia tahu. Dulu saja kami berantem pas dia tahu anak ada flek di paru,” ucapnya.
Ia berharap pasangannya hadir agar bisa berbagi beban. Selama ini, Nurjanah mengurus semuanya sendirian, mulai dari mengasuh anak yang sakit hingga mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Ia diharapkan mampu mengasuh anak, padahal Nurjanah pun juga masih seorang anak.
Ia diharapkan mampu mengasuh anak, padahal Nurjanah pun juga masih seorang anak.
Hal serupa diharapkan warga Cakung, Nasihatul Karomah (26). Selama ini ia mengasuh Faradila Ayu (3), anaknya yang didiagnosis stunting, sendirian. Suaminya hanya sesekali terlibat dalam pengasuhan.
“Suami protes pas baru semenit nyuapin anak. Lha, saya setiap hari nyuapin,” katanya sambil tertawa.
Walakin, menyuapi Ayu bukan perkara mudah. Anaknya tidak suka makan makanan yang asing di lidah, seperti abon ayam. Anaknya juga tidak suka minum susu yang rasanya cenderung tawar. Padahal, susu yang dimaksud adalah pemberian posyandu untuk menambah berat badan anak-anak stunting.
Nasihatul mengikuti program penanganan stunting tanpa berdiskusi dengan suami lebih dulu. Ia berargumen bahwa, toh, pengasuhan anak adalah tanggung jawabnya. Di sisi lain, ada kekhawatiran suaminya tidak akan mengizinkan anaknya ikut program penanganan stunting.
“Suami berpikir, ngapain anak diperiksa-periksa. Anaknya, kan, aktif-aktif saja, enggak sakit,” kata Nasihatul. Walakin, suaminya tidak berkomentar saat Nasihatul dan anaknya didatangi kader posyandu untuk pemantauan mingguan.
Bapak asuh
Pemerintah berupaya meningkatkan semua pihak dalam penanganan stunting melalui program Bapak Asuh Anak Stunting (BAAS). Di RW 09 Kelurahan Cakung Barat, Kecamatan Cakung, Jakarta Timur, program ini dikerjakan oleh empat ketua RT setempat.
“Pak RT yang siapkan makanan (bergizi seimbang). Ada empat RT yang terlibat di sini, yaitu RT 02, 03, 05, dan 08. Budget untuk sekali makan Rp 25.000,” kata salah seorang kader posyandu, Ruri.
Menurut Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana (BKKBN) Hasto Wardoyo, program BAAS menurunkan kasus stunting secara signifikan di beberapa daerah.
“Ini menunjukan bahwa yang paling penting bagaimana asupan makan bergizi sampai ke mulut ibu hamil dan bayi. Seperti (di) Karawang (Jawa Barat), banyak sekali bapak asuhnya kalau kita lihat datanya. Kalau kita cuplik ini turun paling banyak. Di Sumatera Selatan banyak bapak asuhnya juga turun signifikan kasus stunting-nya," kata Hasto melalui siaran pers BKKBN pada 18 Januari 2023.
Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) 2022 mencatat, prevalensi stunting di Indonesia sebesar 21,6 persen atau turun dari 24,4 persen pada 2021. Pemerintah masih harus bekerja keras sebab angka stunting ditargetkan turun menjadi 14 persen pada 2024. Artinya, angka stunting harus turun 2,7 persen per tahun.
Selama ini, intervensi spesifik dengan memberikan makanan bergizi terutama protein hewani kepada anak stunting dapat memperbaiki kondisi tubuh anak tersebut. Akan tetapi, seringkali ada hal lain yang luput dalam penanganan stunting, yaitu pola pengasuhan anak dan bagaimana relasi ayah dan ibu terbangun dalam keluarga.
Editor:
ALOYSIUS BUDI KURNIAWAN, ADHITYA RAMADHAN
- Log in to post comments