BEKERJA DAN BERBAKTI UNTUK KEMAJUAN KTI

Puskesmas perlu perkuat kapasitas untuk cegah masalah kesehatan akibat perubahan iklim

Puskesmas perlu perkuat kapasitas untuk cegah masalah kesehatan akibat perubahan iklim

Petugas medis dari Puskesmas (kanan) mengambil sampel darah penduduk saat pemeriksaan kesehatan di Posyandu lansia di Balai Warga RW 014 Duren Sawit, Jakarta Timur, 17 Maret 2023. ANTARA FOTO/ Fakhri Hermansyah/nz

Putri Nilam Sari, Universitas Andalas

Perubahan iklim global dapat mempengaruhi perubahan cuaca dalam skala regional berupa perubahan curah hujan, suhu, dan bencana akibat cuaca ekstrem.

Hal ini akan mempermudah kontaminasi dan penyebaran penyakit menular. Terjadinya perubahan pola pertanian akibat perubahan iklim juga berpengaruh pada penyediaan pangan dan status gizi serta terganggunya penyediaan air bersih dan sanitasi.

Menurut WHO, perubahan iklim akan menyebabkan 250.000 kematian per tahun dari kasus malnutrisi, malaria, diare, dan tekanan panas. Ongkos kerusakan langsung terhadap kesehatan diperkirakan antara US$2-4 miliar (Rp 29,8-59,6 triliun) per tahun pada 2030.

Lebih dari itu, perubahan iklim dapat secara tidak langsung mempengaruhi perubahan kondisi penduduk beserta kondisi sosial dan ekonomi mereka sehingga dapat memperburuk kesehatan mental.

Puskesmas sebagai fasilitas layanan kesehatan level pertama dan dengan sebaran paling luas punya peran penting dalam adaptasi dan mencegah penyakit yang dipengaruhi oleh perubahan iklim.

Masalahnya, kapasitas Puskesmas dalam meningkatkan upaya pencegahan penyakit akibat perubahan iklim belum maksimal.

Riset kualitatif saya di Kota Padang, Sumatra Barat menunjukkan bahwa petugas kesehatan Puskesmas yang menjadi informan riset belum memahami isu perubahan iklim secara akurat dan menyeluruh. Puskesmas belum menggunakan data iklim yang tersedia untuk melakukan prediksi risiko penyakit akibat iklim.

Kementerian Kesehatan harus memperkuat peran Puskesmas dalam aspek pencegahan dan promosi untuk mengatasi masalah penyakit yang disebabkan oleh perubahan iklim.

Ada peraturan tapi pelaksanaan belum optimal

Indonesia telah memiliki regulasi mengenai Strategi Adaptasi Sektor Kesehatan terhadap Dampak Perubahan Iklim (Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1018 Tahun 2011).

Peraturan ini menegaskan bahwa perlu dilaksanakan penyesuaian terhadap perubahan iklim untuk menanggulangi dampak buruk terhadap kesehatan.

Selain itu, Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 35 Tahun 2012 juga mengatur mengenai pedoman identifikasi faktor risiko kesehatan akibat perubahan iklim sebagai acuan bagi petugas kesehatan dan pemerhati perubahan iklim.

Regulasi ini berdasarkan kerentanan Indonesia yang cukup tinggi. Karakteristik geografis dan geologis negara kita yang sangat luas dan terdiri dari banyak pulau, membuat kerentanan terhadap perubahan iklim meningkat.

Kerentanan lainnya adalah cuaca ekstrem (pola hujan yang tidak menentu, peningkatan frekuensi kemarau panjang) dan tingkat polusi yang tinggi di daerah perkotaan. Selain itu, Indonesia juga memiliki ekosistem yang rentan akibat perubahan tata guna lahan, dan kegiatan sosial ekonomi yang membutuhkan bahan bakar fosil dan menghasilkan emisi.

Puskesmas sebagai garda utama dalam pencegahan masalah-masalah kesehatan tersebut dapat melakukan pembinaan peran serta masyarakat melalui peningkatan kemampuan beradaptasi dan pengelolaan risiko. Puskesmas juga dapat mengefektifkan sistem kelembagaannya termasuk bekerja sama lintas sektoral dengan lembaga lain terkait iklim.

Riset kualitatif yang saya lakukan di Kota Padang bertujuan untuk mengembangkan potensi Puskesmas sebagai lembaga yang dapat memperkuat masyarakat, agar dapat bersama-sama berupaya mengurangi dampak negatif dari perubahan iklim.

Saya melakukan studi pada tiga Puskesmas dengan wilayah kerja yang memiliki penduduk rentan terbanyak terhadap risiko perubahan iklim di Kota Padang.

Hasil riset yang saya temukan adalah Puskesmas belum memiliki perencanaan khusus dalam penanganan masalah perubahan iklim. Kegiatan yang ada cenderung terintegrasi dengan pengurangan risiko penyakit diare, malaria dan DBD.

Selain itu terdapat program Gerakan Masyarakat Hidup Sehat (GERMAS), Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS), Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) dan Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM). Tujuan dari program ini untuk meningkatkan kesadaran masyarakat untuk mengantisipasi penyakit yang sering muncul saat terjadi cuaca ekstrem.

Namun, masalah kesehatan berbasis iklim kembali terjadi berulang kali, walau insiden penyakit-penyakit tersebut telah diketahui memiliki pola yang berulang.

Hal ini terutama disebabkan oleh lambatnya perubahan perilaku masyarakat akibat kurang pemahaman terhadap risiko yang muncul akibat perubahan iklim, perbaikan kondisi lingkungan yang rentan, serta masih rendahnya kesadaran untuk berperilaku hidup sehat.

Dari faktor sumber daya manusia yang dimiliki oleh Puskesmas, beberapa tenaga kesehatan di Puskesmas sudah mendapatkan sosialisasi terkait masalah kesehatan yang diakibatkan oleh perubahan iklim sesuai dengan tren penyakit yang terjadi.

Akan tetapi, keterbatasan sumber daya manusia dan dana menjadi kendala yang umum terjadi sehingga Puskesmas memfokuskan kegiatan yang dilakukan pada program pokok Puskesmas.

Walaupun begitu, kesiapan Puskesmas tergolong baik dalam menghadapi bencana terkait iklim untuk memberikan pelayanan pengobatan dan rehabilitasi bagi masyarakat.

Peran Puskesmas dalam tingkatkan adaptasi iklim di masyarakat

Puskesmas melalui tenaga kesehatannya perlu mengedukasi masyakat melalui usaha promosi kesehatan.

Hal penting yang perlu ditekankan kepada masyarakat adalah mereka perlu mengenali dan mencegah risiko kesehatan yang muncul akibat perubahan iklim. Upaya mencegah banyaknya penyakit menular pada musim kemarau dan hujan juga perlu ditekankan.

Keterbatasan tenaga kesehatan yang ada di Puskesmas dapat diatasi dengan memaksimalkan tenaga kader kesehatan untuk meningkatkan keterlibatan masyarakat.

Kader kesehatan dipilih oleh masyarakat dan dilatih oleh Puskesmas demi mensukseskan program Puskesmas untuk mencegah masalah kesehatan terkait iklim.

Puskesmas perlu mengkaji kerentanan kesehatan masyarakat yang diakibatkan oleh faktor iklim dan cuaca. Kajian ini dapat dilakukan bersama dengan pemerintahan daerah (lurah, camat), perwakilan sekolah dan organisasi kesehatan masyarakat lainnya untuk mengetahui permasalahan terkait iklim yang sedang berkembang di masyarakat.

Selain itu, perlu adanya peningkatan sistem kewaspadaan dan pemanfaatan sistem peringatan dini terhadap mewabahnya penyakit menular dan penyakit tidak menular yang diakibatkan perubahan iklim.

Untuk pemetaan kerentanan, Puskesmas dapat memanfaatkan data iklim yang dimiliki oleh pemerintah (BMKG) dan untuk melakukan kajian risiko kesehatan.

Pemerintah perlu memperkuat regulasi dan kapasitas kelembagaan di tingkat pusat dan daerah untuk menghadapi risiko kesehatan masyarakat yang dapat timbul dari perubahan iklim. Hal ini diiringi dengan peningkatan inovasi dan pengembangan teknologi terkait iklim untuk dimanfaatkan oleh puskesmas.

Penguatan regulasi dan kapasitas dapat dilakukan dengan cara meningkatkan kerja sama penelitian dan pengembangan bersama universitas dan lembaga lainnya yang peduli dan fokus terhadap isu iklim.

Infrastruktur yang memadai untuk memberikan pelayanan kesehatan juga harus menjadi bagian dari respons kesehatan terhadap perubahan iklim.

Untuk bersiap menghadapi bencana seperti angin topan, banjir, dan kekeringan ekstrem, pemerintah perlu mengembangkan sistem medis darurat untuk meningkatkan kapasitas respons bencana, termasuk layanan-layanan khusus dan lonjakan kapasitas korban.

Karena kegiatan medis akan terfokus pada layanan darurat dan perawatan trauma, Puskesmas juga harus mempertimbangkan keberlanjutan pelayanan yang biasa dilakukan untuk masyarakat.

The Conversation

Putri Nilam Sari, Assistant Professor of Environmental Health, Universitas Andalas

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.