BEKERJA DAN BERBAKTI UNTUK KEMAJUAN KTI

HAK ASASI MANUSIA: KESEMPATAN ATAU HAMBATAN?

oleh: Rizard Jemmy Talakua

 

  1. A.    Pendahuluan

Dalam UU No. 39/1999 Tentang HAM pasal 1, memberikan definsi HAM adalah: “Seperangkat hak yang melekat pada hakekat dan keberadaan manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerahnya, yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia”.  HAM tidak hanya mencakup hak-hak politik dan sipil seperti kebebasan berbicara dan bebas dari penyiksaan.  Hak-hak tersebut meliputi pula hak-hak sosial, ekonomi dan budaya seperti hak untuk mendapatkan pendidikan, kesehatan, pekerjaan yang layak dan lain-lain.  Beberapa hak berlaku untuk perorangan disebut hak individual, misal hak untuk mendapatkan pengadilan yang adil.  

Sistem hukum HAM internasional menempatkan negara sebagai aktor utama yang memegang kewajiban dan tanggung jawab  (duty holders).  Sementara individu (termasuk kelompok dan rakyat) berkedudukan sebagai pemegang hak (right holders).  Negara dalam sistem HAM dengan demikian tidak mempunyai hak; kepadanya hanya dipikulkan kewajiban atau tanggung jawab (obligation atau responsibility) untuk memenuhi hak-hak yang dimiliki individu atau kelompok yang dijamin oleh instumen-instumen tersebut.  Jika negara tidak mau atau tidak punya keinginan memenuhi kewajibannya, maka disinilah negara dapat dikatakan telah melakukan pelanggaran HAM.

Pertanggung jawaban negara sebagai sebuah konsekuensi tehadap negara yang menerima mandat untuk menegelola hak-hak masyarakatnya,dapat dilihat dalam tiga bentuk sebagai kewajiban negara dalam penerapan HAM adalah (1) menghormati (obligation to respect), (2) melindungi (obligation to protect) dan  (3) memenuhi (obligation to fullfill). Berdasarkan hal itulah negara mengatur mekanisme dan tata kehidupan masyarakatnya dengan tidak melakukan hal-hal yang melanggar hak dasar, melindungi hak dan kebebasan dan menjamin terpenuhinya kebutuhan dasar.

Mengacu pada peran negara dalam memberikan perlindungan HAM sebagai sebuah kewajiban dan dalam penerapannya, maka tulisan ini mencoba menguraikan realitas dan penerapan HAM (di Indonesia) serta perkembangannya tanpa memberikan batasan secara jelas antara kesempatan atau hambatan, tetapi menjadi bahan refleksi untuk memposisikan kesempatan disatu sisi dan hambatan disisi yang lain.

 

  1. B.     Realitas HAM

Penegakan dan perlindungan HAM di Indonesia masih tetap membutuhkan landasan baku dan kuat. Perubahan-perubahan konstitusi di Indonesia sejak kemerdekaan menunjukkan fluktusssi jaminan HAM di Indonesia.  Lubis (1993) mengatakan UUD 1945 hanya memuat beberapa pasal terkait dengan HAM, UUD 1949 cenderung mengadopsi dan menerima universalitas HAM, UUDS 1950 memperluas cakupan HAM, dan penggunaan kembali UUD 1945 (sejak Dekrit Presiden 5 Juli 1959) sebagai langkah mundur dalam penegakan HAM di Indonesia.

Hasil amandemen UUD 1945 memberikan suatu titik terang bahwa Indonesia semakin memperhatikan dan menjunjung nilai-nilai Hak Asasi Manusia (HAM) yang selama ini kurang memperoleh perhatian dari Pemerintah. Amandemen kedua bahkan telah menelurkan satu Bab khusus mengenai Hak Asasi Manusia yaitu pada Bab XA. Apabila kita telaah menggunakan perbandingan konstitusi dengan negara-negara lain, hal ini merupakan prestasi tersendiri bagi perjuangan HAM di Indonesia, sebab tidak banyak negara di dunia yang memasukan bagian khusus dan tersendiri mengenai HAM dalam konstitusinya (Faiz, 2007)

Persoalan perbaikan dan perlindungan HAM juga muncul dari kontroversi penerapan UU tentang HAM, gugatan terhadap eksistensi Komisi Nasional HAM, serta penerapan hukum bagi penggar HAM yang selalu dipertanyakan masyarakat.  Eksistensi Komnas HAM mendapat kritikan karena dibentuk oleh pemerintah dipandang sebagai lip service untuk kalangan internasional dan dikuatirkan hanya seperti toothless-tiger karena tidak mampu menjangkau pelanggar-pelanggar HAM dari kalangan tertentu.  Namun kehadiran Komnas HAM (Human Rights and Equal Opportunity Commission, 1997) dalam kenyataannya menjadi tempat aduan pelanggaran HAM yang tidak sekedar menampung, namun juga membantu penyelesaiannnya, melakukan penelitian untuk mencari kebenaran serta memberi rekomendasi kepada pihak-pihak yang dipandang tepat untuk memperbaiki jaminan HAM di Indonesia.

Beberapa kejadian pelanggaran HAM di Indonesia menunjukkan perlunya pemahaman HAM tidak sebatas karena hak itu dipunyai oleh semua manusia, namun juga pelayanan terhadap hak itu perlu dilakukan oleh semua manusia.  Pada tingkatan lain, apresiasi terhadap HAM di Indoensia perlu pula dipertajam agar tidak sekedar terfokus pada masalah-masalah HAM besar seperti pembunuhan, perusakan missal dan genocide.  Nilai-nilai HAM seharusnya diterapkan secara menyeluruh di segala lapisan masyarakat sehingga segala bentuk diskriminasi rasial, sexual dan abilitas benar-benar mendapat perhatian yang memadai. Disisi lain, pandangan awam yang terlalu menyederhanakan HAM perlu pula diluruskan.

Bila dikaji lebih dalam, rentetan persoalan HAM di Indonesia tidak sekedar bermuara pada terjadinya pelanggaran HAM dan upaya penyelesaiannya.  Jika hal itu saja yang dijadikan alat ukur, maka persoalan HAM hanya akan diatur secara kuantitatif antara kasus HAM yang terjadi dan jumlah kasus yang diselesaikan.  Perbaikan dan penguatan civil society, penegakan hukum, pendidikan dan sosialisasi HAM tidak secara otomatis menjadikan Indoensia tampil dengan persoalan HAM yang minimalis, tapi dengan kata lain persoalan HAM di Indonesia pada dasarnya telah bermula dan berakhir ada keinginan baik dari governance.

Semangat perlindungan dan kepedulian HAM yang ditunjukkan pemerintah cenderung diawal pemerintahan sebagai janji politik. Bahkan disebutkan bahwa pada masa awal pemerintahan (dua tahunan) sebagai waktu bagi euphoria masyarakat untuk mendapatkan jaminan HAM sebagai warganegara. Namun penyimpangan terhadap perlindungan HAM cenderung terjadi setelah itu karena berbagai alasan. Dari perspektif negara pembatasan HAM disebutkan sebagai upaya menjamin kesatuan dan persatuan bangsa serta keamananan dan ketertiban masyarakat. 

Ada fenomena menarik dimana kecendrungan menurunnya pelanggaran HAM yang dilakukan oleh militer dan paratur negara tidak serta merta menurunkan jumlah pelanggar HAM di Indonesia.  Perbedaan pendapat dan perbedaan keyakinan dengan mudah dapat disulut menjadi ajang adu massa, adu kekuatan, adu fisik, dan tuntutan peniadaan.  Artinya, jika aparatur nmegara dan militer berusaha bersikap dalam masalah HAM, sejumlah individu dan kelompok justru berubah diri dan “memanjakan” kekerasan, ketidaksantunannya dan ketidakdewasaan berpikir dan sikapnya, dengan mengatasnamakan “keyakinan”(Yuliarso, et al. 2005).  Dengan fenomena ini sebetulnya memperpanjang daftar pelanggaran HAM di Indonesia.  Angry mobs serta group dan personal abusers menjadi apresiasi kategori pelanggaran HAM.  Beberapa contoh: pendudukan kantor oleh massa tertentu dan  penghakiman massa, menunjukkan hak asasi untuk hidup begitu mudah dirampas oleh orang lain diluar aparatur Negara. Hal ini memberi potret betapa mudahnya hak asasi dihilangkan oleh berbagai pelaku (actor). 

 

  1. C.     Penerapan HAM

Hal umum yang sebenarnya kurang tepat diterapkan adalah bentuk pemahaman dan kesadaran untuk menghormati nilai-nilai HAM di Indonesia yang sering terjebak pada persoalan ukurannya. Pelanggaran HAM diukur secara kuantitatif atas dasar besaran jumlah korban, tingkat kekejian dan cara pelanggaran itu dilakukan serta actor dan dalam dalam kasus itu.  Artinya, kasus pelanggaran HAM akan cenderung, disoroti dan ditangani secara serius jika jumlah korban, jenis tindakan dan pelakunya dikategorikan berat dan memenuhi kelayakan dimuat di media massa.

Gambaran diatas seakan mengabaikan persoalan nyata dari kedalaman nilai-nilai HAM.  Pelanggaran kecil sekalipun mestinya dipahami sebagai sebuah persoalan hak asasi manusia di Indonesia.  Selain itu, bentuk pelanggaran HAM-nya harus dipndang sebagai sebuah kesalahan dan harus dibenahi.  Mengabaikan pelanggaran kecil di sekitar masyarakat biasanya menjadi paison of condistion dan tanpa disadari bisa meningkatkan sedikit demi sedikit.  Akibat lainnya, kesadaran atas terjadinya pelanggaran akan datang terlambat dan rententan akibatnya semakin panjang, sehingga penanganannya menjadi semakin sulit.

Pemahaman nilai-nilai HAM pada tataran yang praksis dan tidak substansial akan mengabaikan relaitas pelanggaran yang selalu terjadi dan seakan dipandang sebagai kejadian yang biasa, seperti contoh: seorang pencuri anthurium dihakimi massa hingga tewas jika dibandingkan dengan penembakan oleh aparat negara dalam kasus pasuruan yang menyebabkan meninggalnya beberapa orang.  Dari komparasi dua kasus ini, menampakan perbedaan pelaku, korban dan kuantitas yang menentukan. Namun demikian perilaku massa yang menghakimi seorang pencuri pun patut ditindaklanjuti.  Tidak ada alasan bahwa yang dibunuh hanya satu orang, seoarang pencuri atau korban dari kebrutalan massa.  Bila hal seperti ini dibiarkan, secara tidak langsung akan terjadi penularan yang keliru dengan mendasarkan diri pada penghakiman seorang pelaku kejahatan di jalanan oleh massa, dapat pula terjadi di berbagai tempat dengan alasan yang sama dengan frekuensi yang semakin meningkat pada akhirnya membuat masyarakat terbiasa dengan keadaan tersebut.

Secara prinsip tidak ada satu pun bentuk pelanggaran kecil terkait dengan HAM dapat ditolelir.  Hal ini akan berlaku jika Indoensia benar-benar ingin menegakkan dan memberi perlindungan HAM secara maksimal kepada rakyatnya.

 

 

  1. D.    Perkembangan HAM

Kontradiksi yang semakin mendalam antara ratifikasi berbagai instrumen HAM oleh rezim Orde Baru, dengan pengawetan pelanggaran salah satu hak manusia yang paling azasi – hak hidup (the right to life) --  dalam sistem hukum Indonesia, yang sampai sekarang masih mempertahankan hukuman mati dalam sebelas produk hukum di Indonesia, termasuk Undang-Undang Anti Teroris yang dikeluarkan sesudah lengsernya Soeharto (Aditjondro 2007).

Wacana dan praksis HAM selama ini, sebagai peninggalan dari masa represi Orde Baru selama tiga puluhan tahun, masih sangat didominasi oleh hak-hak sipil dan politik.  Padahal ranah HAM, menurut Deklarasi Universal yang diputuskan MU PBB tanggal 10 Desember 1948, begitu luas, meliputi 20 pasal hak-hak sipil dan politik (sipol), serta sepuluh pasal hak-hak ekonomi, sosial dan budaya (ekososbud).

Kontradiksi juga semakin tajam antara ratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekososbud melalui UU No. 11/2005, tanggal 28 Oktober 2005, dengan pengabaian hak-hak ekososbud rakyat di tanah air demi memuluskan berbagai proyek pembangunan berskala besar, yang lebih banyak mengarah pada kepentingan kapitalis besar dan asing (Gurusinga dan Aditjondro 2007). Termasuk disitu pencabutan hak-hak rakyat atas tanahnya, pengabaian hak-hak rakyat atas lingkungan hidup yang bersih dan nyaman, demi pembangunan sejumlah pembangkit listrik skala besar seperti di Riau, Sumatera Utara, Aceh, dan Jawa Tengah.

Walaupun persoalan HAM, mulai dari instrumen hukum maupun pelanggarannya semakin bebas dibicarakan, bahkan sudah masuk ke kurikulum berbagai universitas terkemuka di tanah air, berbagai pelanggaran HAM penting yang telah terjadi di Nusantara tetap tidak juga dapat diusut.  Mulai dari kasus pembunuhan Fuad Muhammad Syafrudin alias Udin, jurnalis harian Bernas  di Yogyakarta (Marajo 2007), pembunuhan Munir Said Thalib, pegiat HAM terkemuka di Indonesia, s/d pelanggaran HAM berat menjelang dan sesudah referendum di Timor Leste, yang dicoba untuk dicairkan dengan pembentukan Komisi Keadilan dan Perdamaian antara Republik Indonesia dan Republik Demokratik Timor Leste.

Persoalan HAM dapat juga berasal dari kultur negeri yang disadari atau tidak telah terjadi di Indonesia. Kebanggaan pencirian terhadap kekhasan Indonesia seakan membentengi nilai-nilai universal HAM untuk diterapkan (Yuliarso. et al, 2003).  Memang harus diakui bahwa tidak semua nilai bisa diterapkan dalam konteks Indonesia yang berciri hidup bermasyarakat secara kolektif dan bukan individu.  Sementara disisi lain upaya meratifikasi berbagai hukum HAM yang universal merupakan tuntutan internasional (universalism vs. particularism dan relativism).

Aksesibilitas merupakan persoalan besar di Indonesia, sebab selain seberapa kuatnya komitmen politik yang ditunjukkan, negara diperhadapkan pula dengan pilihan yang cukup sulit untuk menciptakan keseimbangan diantara : (1) aturan main yang telah dipekati dengan persoalan (2) nilai atau manfaat.  Pada sector pendidikan atau kesehatan, seberapa jauh telah menyentuk hak-hak dasar manusia bisa diterapkan sebagai jasa berdasarkan aturan main liberalisasi ekonomi dan seberapa jauh pemerintah dapat melakukan fungsi pengendaliannya untuk tetap menjamin aksesibilitas masyarakat. 

Beberapa konvensi utama yang telah diratifikasi oleh Indonesia sebagai bentuk dalam penerapan HAM, yakni : Kovenan HAK Sipil dan Politik (ICCPR), Kovenan HAK Sosial, Ekonomi dan Budaya (ICESCR), Konvensi Anti Penyiksaan (CAT), Konvensi Anti Diskriminasi Rasial (CERD), Konvensi Pengahpusan Diskrimasi terhadap Perempuan (CEDAW), dan Konvensi HAK Anak (CRoC) sebagai langkah maju kepedulian Negara tehadap HAM.

 

  1. E.     Kesimpulan

Mengacu pada uraian sebelumnya memberikan gambaran penerapan dan perlindungan HAM adalah kewajiban negara terhadap masyarakatnya secara individu maupun kelompok.  Kalau topic ini mempertanyakan kesempatan atau hambatan, maka dapat disimpulkan bahwa;

Peran negara dalam melindungi HAM akan menjadi kesempatan, jika negara punya komitmen menjalankan prinsip-prinsip pelayanan masyarakat dengan prinsip keadilan dan demokratis. Negara mampun memberikan akses bagi masyarakat untuk dapat menggunakan ataupun memperoleh hak-haknya sebagai warga negara dengan penuh tanggung jawab. Sebaliknya jika negara gagal dan tidak peduli dalam menjalankan kewajiban untuk masyarakatnya akan menjadi hambatan dalam melindungi HAM.

Perubahan dalam transisi demokrasi mesti dilihat secara objektif sebagai sebuah proses mewujudkan mekanisme kehidupan yang demokratis, sehingga mesti didukung dengan optimis untuk penciptaan perubahan-perubahan yang mendukung dan melindungi HAM. 

Kita masih harus bekerja keras demi penegakan hak-hak asasi manusia di tanah air tercinta dengan berperan secara aktif, produktif, kritis tapi konstruktif dalam mengawal jalannya kehidupan berbangsa dan bernegara demi perlindungan dan penegakan HAM.

 

 

 

Referensi

 

Aditjondro George Junus. (2007). "Tolak Hukuman Mati". Suara Pembaruan, 11 November 2007.

Faiz, Pan M. (2007). Embrio dan  Perkembangan Pembatasan Hak Asasi Manusia di Indonesia.  sebagai Bahan Pengantar "Online Discussion" di salah satu Forum Hukum (19 November 2007)

Jacob, T. (2004).  Tragedi Negara Kesatuan Kleptokratis.  Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.

Lubis, Todung M. (1993). In Search of Human Rights.  Jakarta; PT Gramedia Pustaka Utama and SPES Foundation.

Marajo, Asril Sutan (2007). Memburu Pembunuh Wartawan: Investigasi Kasus Kematian Udin.  Yogyakarta: Galangpress

Undang-undang nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

Yuliarso, Kurniawan K dan Nunung Prakarto (2005). Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia; Menuju Democratic Governance. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (ISSN 1410-4946) Vol 8, No.3, Maret 2005 (291-308).