Otonomi Daerah
Babak Baru Relasi Pusat-Daerah
Oleh: A Ponco Anggoro
SEJAK Undang-Undang Otonomi Daerah diberlakukan tahun 1999, pemerintah daerah diberi kewenangan luas. Namun, hal itu kerap kali disalahgunakan. Daerah bertindak semaunya, di luar kontrol pusat, sehingga mengganggu jalannya pemerintahan dan pembangunan. Kini, kondisi itu berpotensi berubah.
Tanggal 24 November 2014, instruksi dikeluarkan Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo ke semua kepala daerah dan ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah provinsi/kabupaten/kota. Isinya, meminta percepatan penyelesaian penetapan Rancangan Peraturan Daerah tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Tahun 2015 dan peraturan kepala daerah tentang penjabaran APBD. Jika kepala daerah dan DPRD tidak menyelesaikannya sebelum akhir tahun 2014, sanksi dijatuhkan.
Sanksi itu berupa tidak dibayarkannya hak-hak keuangan kepala daerah dan DPRD selama enam bulan. Hak itu mencakup gaji pokok, tunjangan jabatan, dan tunjangan lain-lain.
Baru kali ini ancaman sanksi terhadap pimpinan daerah atas tidak dituntaskannya rancangan APBD tepat waktu dikeluarkan pemerintah pusat. Ancaman sanksi itu didasarkan pada Pasal 312 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. UU ini baru disahkan di ujung pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono menggantikan UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Ancaman sanksi ini dimunculkan dalam UU berkaca pada sering terlambatnya pengesahan APBD sekalipun pusat telah berulang kali mengimbau di ujung setiap tahun anggaran.
Dampaknya, pembangunan pada tahun berikutnya terhambat dan penyerapan anggaran tidak bisa maksimal yang imbasnya juga buruk pada realisasi pembangunan di daerah.
Memang belum jelas efektivitas dari ancaman sanksi itu dengan ketepatan waktu kepala daerah dan DPRD menyelesaikan RAPBD sebelum akhir tahun. Di level provinsi, misalnya, hingga pekan lalu, masih ada 16 provinsi yang belum menyerahkannya ke Kementerian Dalam Negeri untuk dievaluasi. Namun, yang jelas genggaman pusat kepada daerah yang lebih kuat setelah UU 23/2014 disahkan telah ditunjukkan untuk pertama kalinya. Dan, tidak menutup kemungkinan, ke depan, akan lebih banyak contoh lain.
”Indonesia bukan negara federal. Mengacu pada Undang-Undang Dasar 1945, Indonesia merupakan negara kesatuan yang terdesentralisasi dengan Presiden memegang kekuasaan pemerintahan. Bagaimana caranya memperkuat Presiden dan peran pusat? Memperbanyak ancaman sanksi bagi kepala/wakil kepala daerah dalam UU No 23/2014,” ujar Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kemendagri Djohermansyah Djohan.
Ancaman sanksi bagi kepala/wakil kepala daerah dalam UU 23/2014 memang jauh lebih banyak daripada UU 32/2004. Selain ancaman sanksi bagi kepala daerah dan DPRD yang tak tepat waktu dalam menetapkan APBD, ancaman sanksi juga berlaku bagi kepala/wakil kepala daerah yang menolak melaksanakan program strategis nasional yang telah dibuat Presiden.
Kepala/wakil kepala daerah juga terancam sanksi jika mereka tidak menyampaikan laporan penyelenggaraan pemerintahan daerah setiap tahun. Begitu pula sanksi bagi kepala/wakil kepala daerah yang tidak membangun pelayanan publik yang baik, perizinan dengan pelayanan terpadu satu pintu, dan menyampaikan peraturan daerah yang dibuat ke pusat.
Sanksi juga bisa dijatuhkan bagi kepala/wakil kepala daerah yang keluar negeri tanpa izin serta meninggalkan tugas dan wilayah kerja lebih dari tujuh hari berturut-turut atau tidak berturut-turut dalam waktu satu bulan.
Sanksi untuk setiap pelanggaran itu bervariasi, tak hanya menghentikan beberapa bulan hak keuangan mereka. Kepala/wakil kepala daerah yang menolak melaksanakan program nasional, misalnya, bisa sampai diberhentikan sebagai kepala/wakil kepala daerah. Sanksi itu hukuman terberat jika kepala/wakil kepala daerah tetap menolak melaksanakan program nasional setelah ditegur dua kali, dan diberhentikan sementara sebagai kepala/wakil kepala daerah selama tiga bulan.
Takkan merongrong
Pada sejumlah aturan, sanksi tidak hanya bisa dijatuhkan oleh pusat, tetapi juga oleh gubernur kepada bupati/wakil bupati dan wali kota/wakil wali kota. Ini untuk memperkuat peran gubernur sebagai perwakilan pemerintah pusat di daerah.
Dengan banyaknya sanksi itu, sepertinya tidak mungkin lagi ada daerah yang tidak patuh kepada pusat jika aturan dan sanksi yang melekat padanya betul-betul diterapkan.
Selain itu, tidak mungkin ada pemikiran lagi dari partai politik bahwa dengan menguasai mayoritas kepala/wakil kepala daerah, mereka bisa merongrong kekuasaan Presiden.
Meski demikian, yang patut diwaspadai, kemungkinan kebijakan yang diambil penguasa, dengan kewenangan barunya, sarat dengan unsur politis. Bukan tidak mungkin, penguasa bersikap keras kepada pimpinan daerah yang kontra penguasa, tetapi lunak pada mereka yang ada di pihak penguasa.
Selain itu, Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah Robert Endi Jaweng mengingatkan, akuntabilitas dalam desentralisasi pasca UU 23/2014 tidak semata menekankan akuntabilitas prosedural, tetapi harus pula pada akuntabilitas substantif dan kinerja.
”Menyerahkan RAPBD tepat waktu, misalnya, sangat penting secara prosedural. Namun, lebih penting lagi substansi dari APBD, penting menjaga alokasi anggaran sejalan dengan skala prioritas dan politik anggaran secara nasional,” katanya.
Pemerintah pusat juga harus cermat menggunakan kewenangan barunya. ”Pusat harus cermat melakukan kombinasi antara penegakan sanksi dengan negosiasi dan fasilitasi yang kuat kepada pemda agar pemda lebih kapabel dalam membuat kebijakan, disiplin menegakkan hierarki pemerintahan, dan akuntabel terhadap kewenangan otonom yang dimiliki,” ujar Endi.
Ini pula yang diharapkan Ketua Asosiasi Pemerintah Provinsi Seluruh Indonesia Syahrul Yasin Limpo. ”Relasi pusat-daerah sebaiknya tidak didasarkan semata pada perintah, instruksi dari pusat, bahkan ancaman sanksi jika tidak patuh dan taat, tetapi harus dikedepankan dialog. Pusat juga jangan melihat permasalahan daerah dari hitam-putih aturan semata. Pusat harus turun ke daerah melihat tantangan-tantangan yang dihadapi oleh daerah sebelum akhirnya menjatuhkan sanksi kepada daerah,” katanya.
Terkait pemda yang harus menetapkan RAPBD tepat waktu, seharusnya pusat juga melihat bahwa di banyak tempat, alat kelengkapan DPRD belum terbentuk. Tanpa itu, penyusunan RAPBD tidak mungkin dilakukan sehingga bisa berdampak pada molornya penetapan RAPBD.
Ketua Umum Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia Isran Noor, yang menilai UU 23/2014 tidak mencerminkan esensi dari otonomi daerah, juga mengharapkan penjatuhan sanksi menjadi hal paling akhir yang ditempuh pemerintah pusat. Pasalnya, banyaknya sanksi justru bisa mematikan kreativitas kepala/wakil kepala daerah.
”Esensi otonomi daerah memberikan keleluasaan kepada daerah untuk bertindak. Namun, dengan banyaknya ancaman sanksi itu, ruang gerak kami menjadi terbatas. Artinya sama saja mengingkari esensi dan tujuan otonomi daerah,” katanya.
Inilah babak baru relasi pusat-daerah. Babak pemerintah pusat bisa lebih mengontrol daerah. Namun, jauh lebih baik jika kontrol bisa dicapai tanpa ada sanksi yang dijatuhkan. Sinergi berdasarkan kesepahaman yang sama, yaitu menyejahterakan rakyat, akan lebih memperkuat relasi pusat dan daerah.
Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000010559109
-
- Log in to post comments
- 363 reads