desain untuk perubahan
Anak Membutuhkan Kepercayaan
Ikon konten premium Cetak | 2 September 2015 Ikon jumlah hit 37 dibaca Ikon komentar 0 komentar
Kata ibu guru, pahlawan itu membantu orang kesusahan. Kami ingin menjadi pahlawan. Waktu keliling sekolah lihat selang air yang rusak, kolam renang kotor, dan taman kering. Kalau air habis, tidak enak. Tidak bisa cuci tangan dan mandi. Jadi, kami mau menyelamatkan air dengan menghemat air. Kalau kami bisa, kalian juga pasti bisa".
Tepuk tangan riuh rendah dan teriakan para penonton menggema di aula Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Sabtu pekan lalu, seusai Alka dan Ariet, murid kelas I SD Kembang, menceritakan pengalaman mereka dan teman-teman satu kelas mengerjakan tugas sekolah dengan semangat Design for Change. Di atas panggung, keduanya tertegun lalu tersenyum.
Alka, Ariet, dan teman- temannya sudah mulai belajar mengidentifikasi masalah yang ada di lingkungan sekitarnya sekaligus ide solusi sejak satu minggu setelah masuk sekolah. Mereka diajak guru bermain peran menjadi pahlawan. Mereka diajak mengamati lingkungan sekitar dengan berkeliling sekolah, lalu mendiskusikan usulan solusi.
Dengan pendampingan guru, lalu sampailah mereka pada kesadaran pentingnya menghemat air dengan cara sesederhana menutup keran air rapat-rapat saat tidak digunakan dan menggunakan air secukupnya.
"Semua orang memiliki kekuatan super dan bisa menjadi pahlawan. Hanya perlu sedikit sentuhan untuk membangkitkannya. Itu semua bisa dirancang. Manusia yang bisa membuat hidup menjadi lebih baik. Dengan memakai pola pikir desain (design thinking), kitabisa membuat perubahan," kata Kiran Bir Sethi, penggagas Design for Change dari India, dalam seminar "Design for Change".
Aksi nyata
Selama ini, menurut Kiran, dunia pendidikan hanya mengutamakan pencapaian akademik yang mensyaratkan anak harus selalu menjadi terbaik, tercepat, terpandai, dan lainnya. Tentu yang dipandang lebih penting adalah nilai. Padahal, ke depan, dunia membutuhkan generasi yang tak hanya mampu mengidentifikasi persoalan lingkungan sekitarnya, tetapi juga menyumbang solusi dengan aksi nyata.
"Perubahan itu bisa terjadi dan dengan semangat 'Aku Bisa', anak-anak terbukti bisa melakukannya. Banyak ide dan tindakan yang luar biasa datang dari anak-anak. Kita harus yakin dan percaya mereka bisa. Age has nothing to do with competences," kata Kiran.
Di sekolah yang didirikan Kiran, Riverside School, diterapkan pembelajaran dengan kerangka feel (merasakan), imagine (membayangkan), do (melakukan), dan share (membagikan). Ini proses design thinking yang disederhanakan. Berbekal ini, anak diharapkan akan siap mengabdi kepada masyarakat dengan ilmu yang dimiliki. Anak juga akan mempunyai kompetensi sosial, emosi, dan keterampilan abad XXI yang kreatif.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan mengatakan, pendidikan memberikan rangsangan menumbuhkan kepercayaan diri pada anak. Potensi anak akan terhalang jika orangtua atau masyarakat masih menggunakan cara pandang sempit tentang apa yang harus diajarkan kepada anak. "Meminjam istilah ibu Kiran, menjadikan anak tidak hanya markable, tetapi remarkable," ujarnya.
Setiap anak, menurut Atase Pendidikan dan Kebudayaan Kedutaan Besar RI untuk India Iwan Pranoto, penuh dengan semangat dan harapan. Setiap anak justru berdaya dan memiliki kekuatan yang mampu mengubah masyarakat. Sayangnya, selama ini "kekuatan" anak-anak itu tak didukung masyarakat, atau bahkan orangtua. Anak selalu menjadi obyek, bukan subyek. "Anak sering dikritik menjatuhkan. Akibatnya, orang dewasa menyuapi anak dengan pernyataan 'tidak bisa'. Padahal anak punya kekuatan, yakni tidak takut salah," kata Iwan. (LUK)
Sumber: http://print.kompas.com/baca/2015/09/02/Anak-Membutuhkan-Kepercayaan
-
- Log in to post comments
- 158 reads