BEKERJA DAN BERBAKTI UNTUK KEMAJUAN KTI

Gurita, Antara Ekonomi dan Ekologi

Praktik buka tutup area penangkapan gurita yang dilakukan nelayan di Pulau Lanjukkang dan Langkai, Makassar, bukan hanya meningkatkan kualitas gurita. Upaya ini juga memulihkan terumbu karang dan populasi ikan karang.

Oleh RENY SRI AYU ARMAN

Pertengahan Agustus lalu, Yayasan Konservasi Laut Indonesia menggelar pertemuan dengan sejumlah pihak. Akademisi, nelayan, pihak Dinas Kelautan dan Perikanan, Balai Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Laut Makassar, hingga eksportir gurita di Makassar, Sulawesi Selatan, hadir dalam pertemuan tersebut. Pertemuan ini untuk mengevaluasi sekaligus mencari masukan terkait program buka tutup kawasan penangkapan gurita.

Sudah hampir tiga tahun terakhir program ini dilaksanakan nelayan di Pulau Langkai dan Lanjukkang. Sistem ini dilakukan dengan menetapkan area terlarang untuk penangkapan gurita. Luasnya beragam, umumnya ratusan hektar. Area terlarang ini diberi penanda dan papan bicara.

Penetapan kawasan terlarang ini biasanya dilakukan setidaknya tiga bulan di satu lokasi. Setelah dibuka, penutupan berpindah ke area lain. Begitu seterusnya. Kawasan terlarang ini ditetapkan dengan kesepakatan nelayan setempat. Pengawasan, mereka juga yang melakukan.

Aturannya, selama penangkapan gurita dilarang di suatu kawasan, hanya pemancing ikan tenggiri atau yang menggunakan alat tangkap ramah lainnya yang boleh beroperasi. Pelanggaran akan dikenai sanksi berupa hasil tangkapan disita lalu dijual. Hasil penjualannya akan disumbangkan untuk kepentingan masyarakat umum atau rumah ibadah.

Program ini bermula dari kekhawatiran terancamnya biota laut, termasuk karang akibat penangkapan ikan yang destruktif. Pemerhati lingkungan yang tergabung dalam YKLI kemudian masuk dan memberi edukasi.

Gurita menjadi pintu masuk karena hewan ini hidup di karang dan menjadi salah satu mata pencarian dan komoditas yang bernilai tinggi.

”Selama ini banyak nelayan yang mengandalkan gurita sebagai salah satu komoditas utama. Selain itu, komoditas ini diekspor ke sejumlah negara. Penangkapan gurita juga menggunakan alat tangkap yang cukup ramah,” kata Alief Fachrul Raazy, Koordinator Program Proteksi Gama (Program Penguatan Ekonomi dan Konservasi Gurita Berbasis Masyarakat).

Alief mengatakan, dipilihnya Lanjukkang dan Langkai sebagai lokasi program tak lepas dari fakta bahwa pulau yang masuk dalam gugusan Kepulauan Spermonde ini berada di urutan ketiga penangkapan ikan yang destruktif. Pengambilan hasil laut pun tak memandang ukuran. Apa saja yang masuk perangkap, apa saja yang bisa dijual, semua diambil. Bahkan tidak jarang biota dilindungi turut diambil dan diperdagangkan.

Pulau Lanjukkang dan Langkai adalah dua pulau terluar Makassar. Pulau ini, dua dari 12 pulau dalam gugusan Kepulauan Spermonde yang secara administratif masuk dalam wilayah Kota Makassar. Waktu tempuh kedua pulau ini dari daratan Makassar, yakni Pelabuhan Pendaratan Ikan Paotere, adalah dua jam dengan perahu bermesin. Namun, dengan kapal cepat waktunya hanya berkisar 30-45 menit.

”Kekhawatiran akan penangkapan yang destruktif ini yang membuat kami masuk ke sana. Awalnya memang tak mudah, tapi kami terus memberi edukasi pentingnya menjaga laut untuk kelangsungan hidup dan mata pencarian mereka,” kata Alief.

Jika pada akhirnya buka tutup penangkapan gurita yang dijalankan, itu adalah hasil kesepakatan nelayan. Tentu kesepakatan ini tak lahir begitu saja. Ada silang pendapat, pertentangan, dan banyak adu argumen.

Adalah Erwin RH (47), nelayan asal Pulau Langkai yang menjadi local champion dan punya andil besar hingga program ini disepakati. Dia bukan tokoh agama, bukan pejabat pemerintah, tetapi cukup didengar oleh para nelayan.

”Saya paham maksud baik dari program ini. Makanya, saya berusaha meyakinkan nelayan di dua pulau untuk mau menerima program ini. Nelayan menentang. Saya bahkan dicurigai mau untung sendiri. Jujur sebelum ini, saya juga pelaku penggunaan obat bius maupun bom. Segala yang bisa dijual saya ambil. Tapi setelah mendapat edukasi, saya paham kalau selama ini kami salah,” katanya.

Erwinlah yang meyakinkan nelayan hingga semua sepakat melakukan praktik buka tutup kawasan. Selama program ini dijalankan, seluruh nelayan menjadi pengawas, terutama bagi nelayan asal pulau lain. Mereka juga yang bersama-sama menghadapi dan memberi pemahaman saat protes muncul dari nelayan pulau tetangga.

”Saat ke sana kami tidak pernah mengarahkan atau berpikir bahwa buka tutup area penangkapan gurita yang akan dijalankan. Nelayan sendiri yang memilih langkah itu. Nyatanya ini bukan hanya membuat nelayan mendapatkan gurita grade A dan B, melainkan tujuan untuk menjaga terumbu karang perlahan membuahkan hasil. Ikan-ikan karang yang dulu sulit didapatkan, sekarang mulai banyak lagi,” kata Nirwan Dessibali, Direktur Eksekutif YKLI.

Intinya masyarakat harus dibuat paham bahwa jika mereka tak menjaga lingkungan, maka bisnis gurita akan terancam. (M Rijal Idrus)

Jalaluddin (50), nelayan sekaligus pengumpul gurita dari Pulau Lanjukkang, mengakui sejak program ini dilaksanakan, nelayan mendapat banyak keuntungan. Sebagai contoh jika dulu nelayan hanya menjual gurita dengan berat di bawah 1 kilogram, kini mereka bisa mendapatkan gurita yang beratnya hingga 2 kilogram per ekor.

”Dulu kalau mencari gurita, dari pagi sampai sore, dapat paling banyak 300.000-an. Sekarang hanya tiga jam di laut, pendapatan bisa dua kali lipat karena gurita yang ditangkap besar dan harganya tinggi. Dengan waktu penangkapan yang singkat, nelayan masih bisa melakukan pekerjaan lain,” katanya.

Pihak pengekspor adalah yang turut mendukung program ini.

”Semakin bagus kualitas gurita, harganya makin tinggi. Kalau grade A yang beratnya minimal sekilo per ekor, harganya sampai 85.000 per kilogram. Permintaan gurita tidak pernah berkurang walau kadang harganya turun sedikit. Kami ekspor ke Amerika, Eropa, juga Jepang,” kata Kalam, dari PT Prima Bahari Lestari.

M Rijal Idrus, Kepala Pusat Perubahan Iklim Universitas Hasanuddin, mengatakan, program konservasi seperti ini memang hanya akan berhasil jika ada manfaat nyata yang bisa dirasakan nelayan. Contohnya adalah kualitas gurita yang bagus dan kembalinya ikan-ikan karang yang sebelumnya pernah sulit didapatkan.

”Intinya masyarakat harus dibuat paham bahwa jika mereka tak menjaga lingkungan, bisnis gurita akan terancam. Harus jelas benang merah antara kepentingan mereka dan kepentingan menjaga laut. Keterlibatan pengusaha juga penting karena ini menyangkut ekonomi. Intinya ada keberlangsungan secara ekologi dan ekonomi,” katanya.

Pemahaman adalah salah satu yang dinilai cukup nyata. Jika dulu warga bahkan memakan telur penyu dan menangkap hiu, saat ini tak ada lagi. Mereka bahkan membentuk kelompok penangkaran penyu. Ini menjadi salah satu yang kini dikembangkan untuk wisata.

Survei yang dilakukan YKLI pada akhir tahun lalu pada beberapa titik yang pernah ditutup menunjukkan terjadinya pemulihan tutupan terumbu karang hingga 65 persen. Proses ini di antaranya ditandai dengan banyaknya karang jamur (coral mushroom).
Secara ekologi, umumnya pemulihan terumbu karang di suatu kawasan yang telah rusak parah dimulai dengan banyaknya alga yang menutupi karang mati. Kemudian melimpahnya karang jamur yang berperan dalam menyediakan substrat keras, lalu muncul karang kecil dengan bentuk pertumbuhan karang bercabang.

Hampir tiga tahun berlalu dan evaluasi terus dilakukan. Dengan dampak yang nyata dirasakan warga secara ekonomi dan tujuan konservasi yang juga perlahan tampak, program ini mestinya terus berjalan.

”Kami berharap ini menjadi pemantik untuk pulau-pulau lain. Tentu harapan kami pemerintah bisa lebih berperan karena yang kami lakukan di dua pulau, hasilnya cukup nyata,” kata Alief.

Editor:
NELI TRIANA

Sumber: https://www.kompas.id/baca/nusantara/2023/08/28/gurita-antara-ekonomi-dan-ekologi

Related-Area: