Saintifikasi Jamu Masih Terkendala
Hasil Penelitian Belum Diminati Perusahaan Farmasi
4 Agustus 2015
JAKARTA, KOMPAS — Proses saintifikasi jamu di Indonesia belum optimal, yang ditandai minimnya jumlah jamu yang telah dibuktikan secara ilmiah. Padahal, potensi keanekaragaman hayati tinggi. Kondisi itu terjadi karena lemahnya manajemen riset jamu antarlembaga dan ketiadaan kebijakan yang mendukung produk jamu nasional.
Peneliti senior Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Riwanto Tirtosudarmo mengatakan, saintifikasi jamu adalah proses ilmiah. "Untuk membuktikan mutu, keamanan, dan kemanfaatan jamu, baik dalam upaya promotif, preventif, kuratif, maupun rehabilitatif," kata Riwanto Tirtosudarmo dalam diskusi terfokus "Saintifikasi Jamu" yang diadakan Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan LIPI, Senin (3/8) di Jakarta.
Menurut Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dan pakar bioetika, Agus Purwadianto, gerakan mempromosikan jamu oleh semua pelaku dari simbol budaya lokal perlu digalakkan. Itu untuk meraih kepercayaan internasional.
Setelah saintifikasi jamu, kata dia, infrastruktur profesi pengusung sistem pengobatan tradisional Indonesia harus lebih tertata. "Budaya jamu bisa dikembangkan di semua fasilitas kesehatan berparadigma sehat, seperti fasilitas umum, perhubungan, pariwisata, kantor, dan sekolah," ucapnya.
Namun, sebagian kalangan tenaga medis belum menerima hasil saintifikasi jamu sebagai terapi komplementer/pelengkap.
Manajemen lemah
Agus memaparkan, saintifikasi jamu sulit berkembang akibat lemahnya manajemen riset antarlembaga. Setiap peneliti mengerjakan proyek risetnya, tak bersinergi dengan peneliti lain.
Menurut peneliti pada Pusat Riset Biologi LIPI, Andria Agusta, ide penelitian biasanya dari isu yang berkembang di masyarakat. "Peneliti umumnya konsisten pada metode, tetapi tak konsisten pada target, dan lebih mengutamakan sumber dana baru dibandingkan temuan baru," ujarnya.
Sejauh ini, riset bahan obat biasanya sporadis dan skala kecil. Hambatan lain riset bahan obat adalah peneliti harus mengurus hal-hal di luar riset, seperti administrasi keuangan. "Sistem sanksi dan penghargaan belum berjalan sehingga patokan target riset minimalis," ucapnya.
Pengembangan riset bahan obat juga terkendala minimnya sarana dan prasarana penelitian. Contohnya, Indonesia hanya memiliki beberapa mesin penentu struktur molekuler. "Dukungan pemerintah terhadap penelitian belum konsisten," kata Agusta.
Alokasi dana penelitian juga dinilai belum mencukupi. Realisasi anggaran riset baru 0,09 persen dari APBN 2015. Hal itu diperparah sistem belanja bahan dan alat riset yang tak fleksibel serta peraturan kerja peneliti yang tak mendorong kinerja.
"Tak ada proteksi pemerintah pada produk obat dan saintifikasi jamu hasil riset dalam negeri. Ini membuat pengembangan produk obat dalam negeri kurang berkembang," kata Agusta. Persyaratan untuk mendapat lisensi antara produk dalam negeri dan produk impor tak berbeda. Padahal, kemampuan modal industri dalam negeri lebih kecil dibandingkan industri asing.
Secara terpisah, Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan Tjandra Yoga Aditama menyatakan, jamu saintifikasi hasil riset Balitbangkes Kemenkes belum diminati perusahaan farmasi. Jika industri berminat, harus memenuhi syarat yang ditentukan Badan Pengawas Obat dan Makanan.
Tjandra Yoga memaparkan, semua jamu saintifik hasil riset di Balitbangkes Kemenkes sudah ditawarkan kepada industri. Namun, belum ada perusahaan yang berminat memproduksi massal jamu itu. "Beberapa perusahaan justru ada yang berminat pada produk nonjamu," ujarnya.
Sejumlah jamu saintifik yang dihasilkan Balitbangkes Kemenkes adalah jamu hipertensi ringan, asam urat, dispepsia atau mag, hemorrhoid atau wasir, dan osteoartritis atau radang sendi.
Sejauh ini, belum ada aturan standar yang harus dipenuhi industri saat mendaftarkan produk jamu saintifik ke BPOM. "Karena belum ada perusahaan berminat, pembicaraan aturan itu dengan Kepala BPOM belum dilakukan," ujarnya. Nantinya, ada komite di BPOM yang mengevaluasi riset jamu saintifik. (EVY/ADH)
Sumber: http://print.kompas.com/baca/2015/08/04/Saintifikasi-Jamu-Masih-Terkendala
-
- Log in to post comments
- 136 reads