Jaminan Kesehatan Diintegrasikan
Hindari Tumpang Tindih Data Peserta Program
JAKARTA, KOMPAS — Program Jaminan Kesehatan Daerah wajib diintegrasikan dengan program Jaminan Kesehatan Nasional secara bertahap dan rasional. Hal ini bertujuan agar peserta mendapat manfaat lebih luas. Selama masa transisi itu, pemerintah daerah boleh menyelenggarakan Jaminan Kesehatan Daerah hingga 2016.
Kepala Pusat Pembiayaan dan Jaminan Kesehatan Kementerian Kesehatan Donal Pardede menyampaikan hal itu, Selasa (25/11), di Jakarta. Jadi, Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda) diintegrasikan dalam Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) atau disebut Indonesia Sehat.
Setelah Jamkesda diintegrasikan dengan JKN, pemda menyediakan iuran peserta Jamkesda yang didaftarkan Rp 19.225 per orang per bulan. Besaran iuran itu sama dengan iuran peserta penerima bantuan iuran (PBI) yang tercakup dalam JKN.
Donal menjelaskan, Jamkesda yang dikelola pemerintah daerah lebih dulu ada dibandingkan Jaminan Kesehatan masyarakat (Jamkesmas). Semula Jamkesmas belum mencakup semua warga miskin dan tak mampu di daerah. Lalu, warga miskin dan tak mampu yang belum tercakup Jamkesmas ditanggung Jamkesda dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah pemda.
Kemudian, pengelolaan Jamkesda yang beragam setiap daerah diatur lewat Peraturan Presiden Nomor 111 2013 sebagai perubahan atas Perpres No 12/2013 tentang Jaminan Kesehatan. Pasal 6A perpres menyatakan, pemda bisa mendaftarkan warga yang belum masuk jaminan kesehatan sebagai peserta JKN yang dikelola Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.
Manfaat bagi peserta
Manfaat integrasi bagi pemda adalah pemda tak perlu repot mengelola jaminan kesehatan sehingga tak diperlukan lagi satuan kerja pendukung operasional Jamkesda. Bagi peserta, manfaat yang dirasakan bisa lebih luas secara nasional, tak terbatas di daerah tertentu saja.
Sementara itu, Kepala Departemen Komunikasi BPJS Kesehatan Irfan Humaidi menyatakan, ada 168 daerah dan delapan provinsi yang mengintegrasikan Jamkesda dengan JKN. ”Pemda tinggal melakukan perjanjian kerja sama dengan kantor cabang BPJS Kesehatan setempat sebagai dasar pembayaran iuran Rp 19.225 per peserta per bulan,” ujarnya.
Namun, sebagian pemda belum mengintegrasikan Jamkesda dengan program nasional. Hal itu, menurut Irfan, karena pemda bersangkutan belum menyiapkan anggaran daerahnya.
Irfan mengatakan, dengan sistem yang terintegrasi, peserta Jamkesda bisa berobat di banyak fasilitas pelayanan kesehatan di seluruh wilayah Indonesia yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan. Jadi, tak lagi terbatas berobat di fasilitas kesehatan daerah setempat.
Donal menegaskan, dengan integrasi, kekhawatiran tumpang tindih data peserta tak akan terjadi karena data yang digunakan dari satu sumber. ”Kemungkinan tumpang tindih kepesertaan justru amat mungkin terjadi jika Jamkesda belum diintegrasikan dengan JKN,” katanya.
Ketua Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Hasbullah Thabrany menyatakan, integrasi Jamkesda dengan JKN mesti dipahami sebagai penyatuan sistem jaminan kesehatan di bawah satu sistem jaminan kesehatan dan penyelenggara sama. Jadi, semua rakyat Indonesia mendapat hak sama.
Dengan demikian, tak ada lagi tumpang tindih kebijakan pusat dan daerah. Semua warga miskin dan tak mampu ditanggung negara. ”Tugas pemda ialah membantu menyediakan fasilitas kesehatan dan mengontrol kualitas layanan,” katanya.
Satu hal yang juga harus dilakukan pemda adalah mendorong puskesmas dan rumah sakit daerah menjadi badan layanan umum (BLU) daerah. Tujuannya agar bisa menerima dan memanfaatkan langsung klaim layanan kesehatan BPJS Kesehatan.
Selain itu, tarif fasilitas pelayanan kesehatan swasta seharusnya lebih tinggi daripada fasilitas pelayanan kesehatan milik pemerintah agar kian banyak RS swasta kerja sama dengan BPJS Kesehatan. Tanpa fasilitas kesehatan mencukupi, penumpukan pasien peserta jaminan kesehatan akan terus terjadi. (ADH)
Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000010326594
-
- Log in to post comments
- 421 reads