Tanah Air
"Jere", Mencurahkan Hati kepada Leluhur
Fransiskus Pati Herin
Ikon konten premium Cetak | 9 Januari 2016 Ikon jumlah hit 56 dibaca Ikon komentar 0 komentar
Tak ada kekuatan di dunia ini yang mampu mengatasi gejolak alam seperti gempa yang hampir 1.000 kali mengguncang bumi Halmahera Barat, Provinsi Maluku Utara. Selama satu bulan, suasana keseharian warga didera kepanikan. Ingin musibah itu cepat berlalu, warga pun datang kepada leluhur.
Para tokoh adat dan tokoh agama Desa Bobanehena, Kecamatan Jailolo, Kabupaten Halmahera Barat, Provinsi Maluku Utara, berdoa di jere atau makam keramat yang berada di Pulau Babua, akhir November 2015. Mereka meminta keselamatan bagi warga dan harapan agar bencana gempa yang melanda daerah itu segera berlalu.
KOMPAS/FRANSISKUS PATI HERINPara tokoh adat dan tokoh agama Desa Bobanehena, Kecamatan Jailolo, Kabupaten Halmahera Barat, Provinsi Maluku Utara, berdoa di jere atau makam keramat yang berada di Pulau Babua, akhir November 2015. Mereka meminta keselamatan bagi warga dan harapan agar bencana gempa yang melanda daerah itu segera berlalu.
Perahu cepat yang membelah Teluk Jailolo itu tiba-tiba berhenti ketika hendak menyentuh bibir Pulau Babua, daratan mungil yang berdiri di mulut teluk. Dari perahu, dua laki-laki berusia tua beranjak menuju buritan. Suasana berubah hening, laut pun teduh.
Setelah duduk di buritan, mereka meminta pengemudi mengarahkan perahu mengitari pulau, dengan berkeliling sekitar 150 meter sebanyak tiga kali. Saat perahu merayap pelan, keduanya menabur rampai bunga ke laut. Ritual itu dimaknai sebagai tabea, ucapan salam sekaligus memohon izin sebelum menapaki pulau keramat itu. Mereka meyakini, di tempat itu bersemayam para leluhur Jailolo.
Dua laki-laki itu adalah Sahdan Haji Kasim yang mewakili tokoh agama dan Hasan Muid dari tokoh adat. Mereka berasal dari Desa Bobanehena, Kecamatan Jailolo, desa yang terkena dampak paling parah akibat gempa yang mulai mengguncang Kabupaten Halmahera Barat semenjak pertengahan November lalu. Itulah bencana terhebat yang pernah dirasakan generasi daerah setempat yang masih hidup sekarang.
Seusai mengelilingi pulau, perahu menepi. Hasan lebih dahulu turun dari perahu, diikuti Sahdan serta beberapa tokoh lain yang saat itu berjumlah belasan orang. Seolah berdiri menjemput tamu, Hasan yang lebih dulu menyentuh kaki di pulau menyalami satu per satu anggota rombongan.
Peranan Hasan menandakan budaya setempat bahwa adat menjadi yang pertama. Sebelum kehadiran agama, masyarakat lebih dahulu mengenal adat. Filosofi mereka yang terkenal ialah adat matoto agama (adat membungkus agama) yang berjalan di atas Jembatan Kitabullah, Injil, dan Zabur.
Hasan memimpin rombongan mendaki pulau karang itu. Setiba di puncak dengan ketinggian sekitar 20 meter di atas permukaan laut itu, mereka menabur rampai di atas jere atau makam keramat, tempat bersemayam leluhur Jailolo. Selain menabur rampai, mereka juga berdoa dengan membacakan ayat-ayat suci Al Quran.
Seusai ritual di Pulau Babua, rombongan bergerak menuju jere lain yang berada tidak jauh dari Bobanehena. Di jere itu, mereka kembali menabur rampai bunga dan berdoa bersama dipimpin Sahdan Haji Kasim seperti di jere sebelumnya. Menurut warga, kuburan di Pulau Babua dan di dekat Desa Bobanehena itu muncul dengan sendirinya, sehingga dikeramatkan. Mereka meyakini, makam itu milik leluhur yang semasa hidup mereka penuh dengan perbuatan baik.
Setelah dari jere itu, dengan perahu, rombongan menuju pesisir di depan Bobanehena, tempat para Sultan Ternate biasa mandi ketika mengunjungi Jailolo. Itulah tempat terakhir rombongan menabur rampai bunga. Kesultanan Ternate memiliki hubungan dekat dengan Kesultanan Jailolo. Selain dua kesultanan itu, di Maluku Utara ada kesultanan lain, yakni Tidore dan Bacan.
Pemuka Desa Bobanehena, Kecamatan Jailolo, Kabupaten Halmahera Barat, Provinsi Maluku Utara, melakukan ritual di tengah laut dekat desa mereka, akhir November 2015.
KOMPAS/FRANSISKUS PATI HERINPemuka Desa Bobanehena, Kecamatan Jailolo, Kabupaten Halmahera Barat, Provinsi Maluku Utara, melakukan ritual di tengah laut dekat desa mereka, akhir November 2015.
Musibah berlalu
Tujuan para tokoh setempat berziarah ke jere adalah untuk mencurahkan isi hati mereka kepada leluhur atas bencana yang tengah dialami warga di Bobanehena. Dalam keyakinan mereka, leluhur akan membantu menyampaikan niat mereka kepada Tuhan. Leluhur yang selama hidupnya penuh dengan kebajikan, pasti berada dekat dengan Tuhan. Sebagai penguasa alam semesta, Tuhan akan membuat musibah itu segera berlalu.
Hasan menuturkan, ritual semacam itu dilakukan bukan hanya ketika ada bencana alam, tetapi juga apabila ada musibah lain, seperti wabah penyakit, atau menjelang hajatan besar di daerah itu, seperti Festival Teluk Jailolo yang berlangsung setiap tahun. Mereka percaya bahwa leluhur akan menjaga mereka, dan membantu memperlancar semua urusan yang berkaitan dengan kepentingan banyak orang.
Seusai ziarah dari jere, imam masjid, ketua adat, dan pemerintah desa mengumumkan kepada semua warga mengenai ritual tersebut. Warga pun diimbau untuk menjaga hubungan baik antarsesama, serta tidak melakukan pelanggaran norma adat, agama, dan hukum pemerintah. Selama gempa masih terjadi, warga diminta berpasrah kepada Tuhan. "Selanjutnya kami akan berdoa bersama di masjid. Semua warga harus satu hati," kata Sahdan Haji Kasim, yang juga imam masjid setempat, akhir November 2015.
Ia mengatakan, belakangan, warga terlalu mudah terpecah karena perbedaan kepentingan politik. Terlebih lagi, Kabupaten Halmehera Barat merupakan salah satu daerah yang menggelar pilkada pada 9 Desember 2015. Dengan kepentingan itu pula, sering terjadi saling fitnah dan saling menjatuhkan. Semangat kebersamaan yang diwariskan para leluhur pun sirna. Itu yang membuat leluhur marah. Ziarah ke jere itu juga bertujuan untuk meminta maaf kepada leluhur.
Lebih lanjut, Hasan menambahkan, pelanggaran yang paling fatal ialah berzinah, yang dikhawatirkan umumnya terjadi di kalangan generasi muda. Perbuatan itu menyebabkan desa itu menjadi "kotor". Ini sisi buruk dari modernisasi.
"Bencana alam itu ada kaitannya dengan ulah atau perbuatan manusia. Alam menghukum manusia yang melakukan kesalahan di alam," ujarnya. Sebagai masyarakat beriman yang memegang teguh adat istiadat, mereka yakin ada banyak hal di alam yang tidak bisa dijelaskan dengan akal sehat.
Kendati demikian, mereka tidak menyepelekan penjelasan ilmiah tentang penyebab gempa akibat gesekan lempeng bumi yang terjadi di sekitar kawasan itu. Semua imbauan pemerintah pun mereka taati.
Wahab Sidik, warga setempat, mengatakan, ritual itu dapat membangkitkan harapan warga untuk lebih optimistis di tengah keterpurukan. Akibat gempa, sebanyak 1.516 warga Bobanehena sempat mengungsi. Kerugian material meliputi 136 rumah rusak sedang dan 157 rumah rusak berat, satu gedung sekolah rusak sedang, dan dua rumah ibadah rusak sedang. Mereka yakin, bencana yang tidak bisa diprediksi ujungnya tersebut bakal berakhir.
Sumber: http://print.kompas.com/baca/2016/01/09/Jere-%2c-Mencurahkan-Hati-kepada-Leluhur
-
- Log in to post comments
- 202 reads