Kebijakan Pendewasaan Usia Pernikahan di Daerah Lebih Progresif
ADHITYA RAMADHAN
Siang | 8 Oktober 2015 16:22 WIB Ikon jumlah hit 545 dibaca Ikon komentar 0 komentar
JAKARTA, KOMPAS — Kebijakan pemerintah provinsi, kabupaten, bahkan desa di sejumlah daerah dalam hal pendewasaan usia pernikahan dinilai jauh lebih progresif dibandingkan dengan pemerintah pusat. Pemerintah perlu mendengarkan lebih banyak masukan yang benar terkait perkawinan usia dini sebelum memutuskan kebijakan.
Handining
Hal itu disampaikan komisioner Komisi Nasional Perlindungan Anak, Badriyah Fayumi, dalam diskusi dan peluncuran buku Fikih Kawin Anak: Membaca Ulang Teks Keagamaan Perkawinan Usia Anak-anak di aula Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Jakarta, Kamis (8/10).
Badriyah mengatakan, ketika uji materi batas usia perkawinan 16 tahun ditolak Mahkamah Konstitusi, sejumlah daerah justru sudah memiliki kebijakan sendiri terkait perkawinan dini dalam berbagai bentuk, mulai dari peraturan daerah, surat edaran kepala daerah, hingga peraturan desa.
Misalnya, di Nusa Tenggara Barat ada surat edaran gubernur tentang usia pendewasaan usia perkawinan minimal 21 tahun. Kemudian ada juga peraturan Bupati Gunung Kidul yang menetapkan usia minimal menikah 20 tahun.
Bahkan, di Kabupaten Kebumen ada delapan desa yang menetapkan peraturan desa yang menetapkan setiap anak berhak dan berkewajiban menjaga dan melindungi dirinya dari menikah di usia anak, larangan setiap orang yang memengaruhi dan membujuk anak untuk menikah di usia anak, dan larangan memberikan rekomendasi nikah bagi aparat desa bagi pernikahan anak.
Walaupun secara nasional uji materi usia perkawinan tetap 16 tahun, Badriyah berharap pemerintah daerah tetap mendorong pendewasaan usia nikah. Aturan hukum di Indonesia, terutama soal batas usia nikah, ujar Badriyah, sangat dipengaruhi paham keagamaan. Perjuangan pendewasaan usia nikah secara struktural dan kultural harus terus dilakukan secara bersamaan.
Mukti Ali, salah seorang penulis buku, menuturkan, buku itu dibuat karena maraknya pernikahan usia anak yang sering kali dilegitimasi oleh teks-teks agama. Apalagi, uji materi terhadap Undang-Undang Perkawinan beberapa waktu lalu ditolak MK. Pada persidangan, perwakilan NU dan Muhammadiyah menolak uji materi terkait batas usia perkawinan 16 tahun yang diajukan oleh sejumlah lembaga.
Badriyah berharap pemerintah mengakomodasi dan mempertimbangkan banyak hal dalam menetapkan batas usia nikah, salah satunya ialah tingginya angka kematian ibu. Agamawan juga diharapkan dapat menginterpretasikan ulang secara kritis teks- teks keagamaan terkait batas usia nikah.
Menurut Ali, karena yang sering dipakai argumentasi perkawinan usia 16 tahun, ke depan yang perlu dilakukan ialah membaca teks keagamaan dengan lebih komprehensif. Tafsir terhadap dalil-dalil agama perlu dilihat dengan lebih kritis dan mempertimbangkan kebaikan dan kemanfaatan bagi masyarakat luas.
Ketua Bidang Maudhuiyyah Bahsul Masail PBNU Abdul Moqsith Ghazali mengatakan, sebenarnya sikap agamawan dalam memandang batas usia pernikahan jika ada masukan yang argumentasinya jelas. "Sekarang sepertinya sudah ada sinyal dibuka kembali pembahasan batas usia perkawinan di NU," kata Moqsith.
Sumber: http://print.kompas.com/baca/2015/10/08/Kebijakan-Pendewasaan-Usia-Pernikahan-di-Daerah-Le
-
- Log in to post comments
- 353 reads