BEKERJA DAN BERBAKTI UNTUK KEMAJUAN KTI

Petani di NTT Diminta Tanam Tanaman Berumur Pendek

110.296 Hektar Sawah Kering
Petani di NTT Diminta Tanam Tanaman Berumur Pendek
Ikon konten premium Cetak | 27 Januari 2016 Ikon jumlah hit 47 dibaca Ikon komentar 0 komentar

KUPANG, KOMPAS — Lahan pertanian padi dan jagung seluas 110.296 hektar di 12 kabupaten di Nusa Tenggara Timur gagal panen dan gagal tanam akibat kekeringan karena hujan masih terbatas. Pemerintah daerah pun mengandalkan beras cadangan bencana untuk stok pangan warganya.

Kepala Badan Ketahanan Pangan NTT Haji Husen di Kupang, Selasa (26/1), mengatakan, 10 kabupaten lainnya masih melakukan pendataan di lapangan. Kekeringan di 12 kabupaten itu sebagian besar melanda lahan pertanian di wilayah pesisir yang sangat mengandalkan hujan.

"Luas lahan padi gagal tanam 66 persen atau 37.620 hektar, jagung 56 persen atau 36.400 hektar. Artinya, lahan ini belum ditanami karena belum ada hujan. Tanaman yang terancam gagal panen seluas 36.276 hektar terdiri atas padi dan jagung," kata Husen.

Adapun lahan padi yang mengalami kekeringan seluas 14.276 hektar (51 persen), atau masih ada harapan untuk dipanen 13.716 hektar (49 persen). Lahan jagung yang mengalami kekeringan seluas 22.000 hektar (43,20 persen), dan masih ada harapan panen seluas 28.926 hektar (56,80 persen). Jika masih ada hujan hingga dua pekan ke depan, 42.642 hektar padi dan jagung ini dapat dipanen.

Ia mengatakan, tanaman yang mengalami kekeringan sedang, dengan ciri daun kuning dan layu serta sebagian kering kecoklatan, jika saat ini hujan, akan bisa bertahan sampai panen, tetapi sebagian bisa mati.

Tanaman alternatif, seperti kacang-kacangan, ubi jalar, singkong, dan keladi, masih ada harapan untuk hidup. Tanaman jenis ini masih bertahan hidup meski hujan terbatas dan mengalami kekeringan.

"Dengan hujan yang sangat terbatas ini, petani diminta menanam jenis tanaman umur pendek, seperti jagung, umbi-umbian, dan kacang-kacangan, karena tanaman ini hanya butuh 25-35 hari, sementara padi butuh waktu sampai 140 hari untuk bisa panen," kata Husen.

Kepala Bidang Ketersediaan dan Kerawanan Pangan Badan Ketahanan Pangan NTT Silvia Pekujawa mengatakan, laporan dari Stasiun Klimatologi Kupang menyebutkan, kondisi di NTT saat ini sama dengan pada 2007. Saat itu, seusai El Nino langsung terjadi La Nina sehingga Februari 2016 ini diharapkan terjadi La Nina sehingga tanaman padi dan jagung bisa tumbuh lagi atau lahan ditanami ulang.

"Badan Pengkajian Teknologi Pertanian Kupang telah menyediakan benih padi dan jagung yang tahan kekeringan, dan mengembangkan varietas benih unggulan yang dapat dipanen pada usia 20-30 hari," kata Silvia.

Ia mengatakan, stok pangan cadangan untuk mengantisipasi kekeringan adalah 100 ton beras di setiap kabupaten/kota dan 200 ton beras di tingkat provinsi serta 80 ton beras di Badan Ketahanan Pangan NTT. Jika semua beras cadangan ini habis didistribusikan, pemprov meminta bantuan pusat dan Bulog segera menggelar operasi pasar.

Sawah baru

Untuk mendukung program swasembada beras nasional, Pemprov Sulawesi Tengah akan mencetak sawah baru. tahun ini, Sulteng mendapat alokasi pencetakan sawah baru seluas 6.450 hektar. Ini merupakan bagian dari 200.000 hektar sawah baru yang ditargetkan pemerintah pusat pada 2016 ini.

Kepala Dinas Pertanian Sulteng Trie Indriany Lamakampali mengatakan, pencetakan sawah dilakukan di tujuh kabupaten, antara lain Poso, Banggai, Tojo Una-Una, dan Buol. Kabupaten Poso mendapat alokasi paling luas, yakni 2.000 hektar, disusul Banggai 1.700 hektar. Adapun Kabupaten Buol mendapat jatah paling sedikit, yaitu 250 hektar.

"Pencetakan sawah baru tersebut sudah dipertimbangkan secara teknis, seperti ketersediaan air dan lahan yang memang layak untuk persawahan. Daerah-daerah itu memang siap. Saat ini pencetakan belum berjalan karena menunggu koordinasi dengan berbagai pihak," ujar Trie di Palu, Selasa.

Tahun lalu, Sulteng mencetak sawah baru seluas 4.500 hektar. Saat ini luas sawah di Sulteng 140.000 hektar dengan produksi per tahun 1,4 juta gabah kering giling. Produksi itu mencukupi kebutuhan daerah.

Trie mengatakan, pencetakan bagian dari langkah peningkatan produksi agar Sulteng bisa menyumbang beras demi kedaulatan pangan yang menjadi salah satu prioritas pemerintahan Presiden Joko Widodo.

Terkait laju alih fungsi, ia mengatakan, belum ada data yang pasti. Namun, diperkirakan laju alih fungsi sawah untuk berbagai tujuan nonpertanian 10 hektar per tahun. Saat ini pemerintah bersama dengan DPRD Sulteng menggodok regulasi untuk memproteksi sawah dari alih fungsi.

Dari segi potensi sawah, lanjut Trie, laju alih fungsi masih sangat rendah dibandingkan pencetakan sawah baru per tahun. Saat ini, terdapat sekitar 15.000 hektar lahan yang berpotensi dijadikan sawah baru.

Alih fungsi lahan, misalnya, marak di Kabupaten Sigi. Banyak kompleks perubahan di Kecamatan Dolo dan Biromaru dibangun di persawahan. Sejumlah areal bahkan telah dikapling untuk pembangunan perumahan. Padahal, di kawasan itu masih banyak lahan kosong yang selama ini tidak diolah.

Aktivis Aliansi Agraria untuk Reformasi Sulteng M Halim berpendapat, pencetakan sawah baru cenderung menjadi proyek saat pemerintah tidak bisa menekan laju alih fungsi. Pemerintah didesak menerbitkan peraturan yang melindungi areal sawah untuk alih fungsi, baik untuk perumahan, bangunan komersial, maupun pertambangan.

"Sebelum alih fungsi marak, landasan hukumnya harus disiapkan. Itu bukan saja langkah untuk ketahanan pangan, tetapi juga jaminan bagi kedaulatan petani," katanya. (KOR/VDL)

Sumber: http://print.kompas.com/baca/2016/01/27/110-296-Hektar-Sawah-Kering

Related-Area: