BEKERJA DAN BERBAKTI UNTUK KEMAJUAN KTI

Prinsip Konservasi Lemah, Keberlanjutan Pembangunan Terancam

Prinsip Konservasi Lemah, Keberlanjutan Pembangunan Terancam
BRIGITTA ISWORO LAKSMI
Siang | 10 Agustus 2015 12:13 WIB

JAKARTA, KOMPAS — Prinsip konservasi dalam agenda pembangunan pemerintah dinilai belum optimal. Jika tidak segera dibenahi, keberlanjutan pembangunan akan terancam. Rencana pembangunan pemerintahan Joko Widodo yang bertujuan untuk memandirikan pangan Indonesia, misalnya, harus dilakukan dengan menerapkan prinsip-prinsip konservasi.
Pembukaan lahan dengan cara membakar dilakukan warga di kawasan hutan Jalan Takengon-Blangkejeren, Kecamatan Pantan Cuaca, Kabupaten Gayo Lues, Aceh, Maret lalu. Pembukaan lahan dengan cara membakar merupakan tindakan melawan hukum. Di sisi lain, pembukaan lahan itu dilakukan di kawasan hutan lindung. Pemerintah diharapkan bertindak tegas untuk menghukum oknum masyarakat ataupun perusahaan yang membuka lahan dengan cara membakar di kawasan hutan lindung dan konservasi.
Kompas/Adrian Fajriansyah Pembukaan lahan dengan cara membakar dilakukan warga di kawasan hutan Jalan Takengon-Blangkejeren, Kecamatan Pantan Cuaca, Kabupaten Gayo Lues, Aceh, Maret lalu. Pembukaan lahan dengan cara membakar merupakan tindakan melawan hukum. Di sisi lain, pembukaan lahan itu dilakukan di kawasan hutan lindung. Pemerintah diharapkan bertindak tegas untuk menghukum oknum masyarakat ataupun perusahaan yang membuka lahan dengan cara membakar di kawasan hutan lindung dan konservasi.

Prinsip konservasi selama ini oleh pemerintah sering dipandang sebagai penghambat pembangunan, konservasi belum dipandang sebagai suatu peluang untuk pemanfaatan berkelanjutan. Pendapat tersebut disampaikan oleh pakar konservasi yang juga Ketua Pusat Riset untuk Perubahan Iklim Universitas Indonesia Jatna Supriatna yang dihubungi pekan lalu.

"Konservasi oleh para pembuat kebijakan dipahami sebagai penghambat pembangunan. Melestarikan hutan berarti tidak boleh ini dan itu. Pemahaman seperti ini harus diluruskan. Kembalikan pada tujuan pembangunan saja, yaitu untuk menyejahterakan rakyat. Jadi, upaya konservasi juga harus berujung pada kesejahteraan masyarakat," tegas Jatna.

Senada dengan itu, Direktur Konservasi World Wildlife Fund for Nature (WWF) Arnold Sitompul yang dihubungi, Senin (10/8), di Jakarta, mengatakan, "Konservasi itu bukan hanya proteksi dan perlindungan, melainkan juga pemanfaatan berkelanjutan. Selama ini konservasi hanya dimaknai sebagai proteksi dan perlindungan alam. Sementara pembangunan hanya menggunakan prinsip pemanfaatan."

Isu konservasi

Mereka menanggapi isu konservasi bertepatan dengan Hari Konservasi Alam Nasional pada 10 Agustus lalu.

Jatna mempertanyakan, "Apakah pembangunan fisik selalu bisa menyejahterakan? Karena sering kali pembangunan di suatu lokasi yang tujuannya menyejahterakan masyarakat justru menyengsarakan masyarakat di lokasi lainnya."

Sementara, Arnold mencermati rencana pembangunan pemerintahan sekarang yang bertujuan ingin memandirikan di bidang pangan dan energi. Misalnya untuk ketahanan pangan yang akan dilakukan secara ekstensif di daerah Merauke, Papua.

"Pemerintah harus mengedepankan prinsip-prinsip konservasi yaitu dengan tidak membuka hutan yang masih tinggi nilai konservasinya. Sebaiknya pemerintah membangun di lahan yang tidak produktif," ujar Arnold.
Kondisi Taman Nasional Tesso Nilo sekarang sudah semakin kritis. Diperkirakan 60.000 hektar kawasan hutan konservasi gajah sumatera itu telah dirusak untuk dijadikan kebun kelapa sawit. Ribuan penduduk sudah bermukim di lokasi itu tanpa ada tindakan yang berkelanjutan dari pemerintah.
Kompas/Syahnan Rangkuti
Usman mengecek bibit mangrove yang berusia sebulan di Pulau Kelapa Dua, Kepulauan Seribu, Jakarta Utara, Jumat (3/7). Bibit mangrove siap tanam (berumur 2 bulan) dijual Rp 2.500 per batang.

Persoalan konservasi juga tidak lagi semata-mata persoalan ekonomi dan lingkungan, tetapi juga persoalan politik. Sistem politik saat ini political cost (biaya politis) tinggi. Akibatnya, pemerintah daerah yang berwenang memberikan berbagai izin konsesi lebih berorientasi pada manfaat ekonomi dan cenderung mengabaikan konservasi ekosistem.

"Karena harganya tinggi, kepala daerah ingin mengembalikan biaya itu dengan memberikan konsesi di lahan-lahan yang memiliki nilai konservasi tinggi. Sementara mereka hanya memimpin dalam jangka pendek," kata Arnold.

Untuk itu dibutuhkan pendidikan kepada masyarakat agar mereka mampu memilih kepala daerah tanpa latar belakang ekonomi semata.

Saat ini pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan akan mengevaluasi dan memeriksa semua izin yang terkait dengan hutan dengan membentuk Tim Evaluasi Perizinan Kehutanan pada Mei lalu. Hutan yang dibebani konsesi tetapi tidak produktif akan menerima konsekuensi berupa sanksi.

Di sisi lain, perlindungan dan proteksi yang sering kali melarang masyarakat melakukan seuatu di sebuah kawasan harus ditinjau lagi. "Harus dilihat apakah masyarakat yang sudah lama tinggal di situ bisa menjaga ekosistem atau tidak. Kalau terbukti bisa, mereka tidak harus dilarang di sana tetapi justru bisa ditingkatkan dengan pemanfaatan hutan yang berkelanjutan," kata Arnold. Dia mencatat, tak semua warga lokal dapat menjaga ekosistem tempat mereka tinggal. "Banyak juga warga lokal yang menghancurkan dan mereka biasanya ditunggangi oknum," katanya.

Sumber: http://print.kompas.com/baca/2015/08/10/Prinsip-Konservasi-Lemah%2c-Keberlanjutan-Pembanguna

Related-Area: