BEKERJA DAN BERBAKTI UNTUK KEMAJUAN KTI

Sekolah Belum Ramah

anak berkebutuhan khusus      
Sekolah Belum Ramah

JAKARTA, KOMPAS — Keberadaan sekolah inklusif sebagai model pengembangan pendidikan dan kemampuan anak berkebutuhan khusus belum sepenuhnya efektif. Masih terdapat pengajar di sekolah inklusif yang tidak memahami cara mengajar anak berkebutuhan khusus.

Idealnya, guru sekolah inklusif diberi pelatihan dan pendampingan oleh pusat sumber, yaitu guru sekolah luar biasa (SLB). Namun, pada kenyataannya, hal tersebut tidak dapat terlaksana dengan baik. Hal itu terjadi karena guru-guru SLB yang berada di ibu kota provinsi tidak memiliki dana untuk turun ke kabupaten, kota, atau kecamatan.

”Terlebih lagi jumlah guru SLB kurang. Kalau mereka pergi untuk pendampingan, pendidikan di sekolah asal mereka telantar,” ujar pakar pendidikan khusus Universitas Pendidikan Indonesia, Endang Rohyadi, saat dihubungi dari Jakarta, Selasa (9/12).

Dia mengungkapkan, banyak guru SLB belum memahami cara menyampaikan materi kepada guru sekolah inklusif. Akibatnya, penyerapan pengetahuan tak berlangsung sempurna.

Akibat minimnya pengetahuan guru sekolah inklusif tentang pendidikan anak berkebutuhan khusus, stigma negatif tetap ada di sekolah. Hal tersebut membuat sekolah inklusif justru tidak ramah kepada siswa penyandang disabilitas.
Stigma buruk

Wiwied Trisnadi, Manajer Proyek Save the Children, yang mengadakan pembekalan kepada masyarakat di Jawa Barat untuk periode 2012-2015, mengatakan, stigma buruk membuat orangtua murid reguler menarik anak- anak mereka dari sekolah. ”Mereka mengira anak-anak mereka akan tertular disabilitas dari anak-anak berkebutuhan khusus,” katanya.

Dia menemukan, sering kali dana dari pemerintah pusat untuk pendidikan anak berkebutuhan khusus dialihkan untuk membangun infrastruktur. Jumlah anak berkebutuhan khusus relatif rendah dibandingkan dengan jumlah anak secara keseluruhan sehingga mereka tidak diprioritaskan.

”Solusinya ialah membekali orangtua dengan pengetahuan dan keterampilan mendidik dan menerapi anak. Kepercayaan diri orangtua juga harus dipupuk,” tutur Wiwied. (DNE)



Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000010577026

Related-Area: