Daerah Inginkan Perubahan
Wajah Baru Pemenang Pilkada Butuh Dukungan
Ikon konten premium Cetak | 12 Januari 2016 Ikon jumlah hit 342 dibaca Ikon komentar 1 komentar
JAKARTA, KOMPAS — Meski jumlahnya tidak banyak jika dibandingkan dengan total calon, kandidat berusia muda atau berjenis kelamin perempuan ternyata memiliki potensi kemenangan yang lebih besar dalam pilkada serentak 9 Desember 2015. Ini jadi indikator awal bahwa masyarakat menginginkan kehadiran pemimpin alternatif dan yang membawa perubahan.
Pemimpin muda yang memenangi pilkada itu antara lain pasangan Emil Elestianto Dardak (32)-Muhammad Nur Arifin (26). Mereka memenangi Pilkada Kabupaten Trenggalek, Jawa Timur, dengan memperoleh 76 persen suara.
Di Kabupaten Kendal, Jawa Tengah, Mirna Annisa, perempuan dokter berusia 34 tahun, juga berhasil memenangi pilkada dengan memperoleh 62,23 persen suara.
Sementara itu, pasangan Sutan Riska Tuanku Kerajaan (27)-Amrizal Datuk Rajo Medan (43) berhasil menang dalam pilkada di Kabupaten Dharmasraya, Sumatera Barat, dengan memperoleh 63,75 persen suara.
Di Kabupaten Jember, Jawa Timur, Faida, kandidat perempuan, juga memenangi pilkada dengan mengalahkan Sekretaris Kabupaten Jember Sugiarto yang didukung mantan Bupati Jember MZA Djalal.
Gaya baru
Dalam pilkada lalu, sejumlah calon perempuan atau berusia muda ini umumnya memiliki gaya kampanye yang berbeda dengan calon lain.
Mirna Annisa, misalnya, selama dua bulan menjelang pemungutan suara berkeliling ke 285 desa di Kendal.
”Saya mengunjungi dusun-dusun di pinggiran, yang tertinggal, yang selama ini belum pernah dikunjungi petahana, yang infrastrukturnya masih sangat buruk, belum tersentuh,” ujar Mirna.
Selain mengenalkan diri, melalui kunjungan itu, dia juga menangkap aspirasi warga. ”Saya tidak banyak berjanji kepada masyarakat. Saya hanya menyampaikan apa adanya saya dan saya ingin bekerja sungguh-sungguh,” lanjutnya.
Sementara itu, pasangan Emil-Arifin saat kampanye memilih membuat gerakan cinta dan membangun daerah dengan melibatkan anak muda. Metode ini diyakini lebih mengena dibandingkan cara kampanye konvensional seperti mengumpulkan warga di acara tertentu.
”Masyarakat butuh penyegaran dan sedang gandrung dengan inovasi dan perubahan. Perubahan itu yang memperkuat kami. Itu dari sisi eksternal. Dari sisi internal, kami ini anak muda, semangatnya adalah belajar. Itu yang membuat masyarakat suka,” tutur Arifin.
Disinggung soal nama besar keluarga masing-masing, Arifin menjawab, semua faktor berpengaruh terhadap pilihan masyarakat. Emil adalah anak mantan Wakil Menteri Pekerjaan Umum dan suami artis Arumi Bachsin. Sementara orangtua Arifin, warga Trenggalek yang merantau menjadi tukang becak dan pembantu rumah tangga, menjadi motivasi tersendiri bagi masyarakat kecil.
Sejumlah perempuan atau anak muda yang menang dalam pilkada lalu memang berasal dari keluarga yang dikenal di daerahnya. Hal ini, misalnya, terlihat dari pasangan Sutan Riska Tuanku Kerajaan-Amrizal Datuk Rajo Medan dalam Pilkada Dharmasraya.
Koordinator tim pemenangan pasangan itu, Pandong Spenra, menyebutkan, latar belakang Sutan Riska sebagai Raja Koto Besar dengan wilayah tiga kecamatan dan orangtuanya yang merupakan tokoh masyarakat sekaligus wali nagari ikut menjadi faktor yang mendorong kemenangan pasangan itu.
Kemenangan pasangan perempuan Sri Hartini-Sri Mulyani di Pilkada Klaten, Jawa Tengah, juga didukung latar belakang keluarga kedua kandidat.
Mulyani mengakui, kemenangannya tak dapat dilepaskan dari sosok Sunarna, suaminya yang juga mantan Bupati Klaten dua periode. Sosok Sri Hartini sebagai mantan Wakil Bupati Klaten juga menjadi faktor penentu. Menurut dia, kinerja Sunarna-Sri Hartini selama memimpin Klaten (2010-2015) membuat banyak pemilih tak ragu memilih Hartini-Mulyani.
Dinasti politik
Nico Harjanto dari Populi Center mengatakan, dalam pilkada 2015, hanya sebagian dari perempuan atau anak muda yang berasal dari dinasti politik. ”Sekarang tidak semua dari dinasti politik lokal. Ini yang membedakan dengan pilkada sebelumnya,” ucapnya.
Menurut dia, perubahan itu merupakan sinyal bahwa masyarakat merindukan pemimpin yang merakyat dan mampu bekerja cepat. Kerinduan itu makin besar karena sudah ada contoh kepala daerah yang dapat membawa perubahan di daerahnya meski bukan dari dinasti politik.
Namun, Nico mengingatkan, para wajah baru yang memenangi pilkada itu perlu mendapat dukungan kaum profesional karena mereka umumnya masih minim pengalaman birokrasi. Mereka juga perlu menggalang dukungan partai politik di daerah, tetapi tetap harus independen dan tidak berada di bawah naungan tokoh partai.
Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat Masykurudin Hafidz menambahkan, pemimpin muda dan perempuan pemimpin itu harus tetap menjaga keterbukaan dan kejujuran kepada publik. Selain itu, mereka juga harus berkonsentrasi untuk belajar birokrasi daerah, bukan bermain politik.
”Kemunculan mereka merupakan nilai positif dari pilkada langsung. Mereka menjadi alternatif pilihan bagi masyarakat,” kata Masykurudin.
Akan tetapi, peneliti politik lokal dan elite dari Departemen Politik Universitas Indonesia, Panji Anugrah, mengingatkan publik untuk tetap kritis terhadap elite baru yang terpilih.
Oleh karena itu, lanjutnya, penguatan masyarakat sipil di daerah dan peningkatan partisipasi politik masyarakat untuk memastikan pemimpin fokus pada program pembangunan tetap perlu dilakukan. (GAL/UTI/WER/ZAK/GER/RWN/SIR)
Sumber: http://print.kompas.com/baca/2016/01/12/Daerah-Inginkan-Perubahan
-
- Log in to post comments
- 121 reads