Pendidikan
Kini Sekolah Kami Dilupakan
Fransiskus Pati Herin
6 Agustus 2015
Tenda berukuran 10 meter x 5 meter itu, Rabu (5/8), telah berusia dua tahun. Warnanya sudah kusam, atapnya kini berselimutkan debu pekat dan dindingnya banyak yang bolong. Suara dua perempuan dewasa terdengar di antara kegaduhan para siswa yang sedang belajar di dalam bangunan darurat itu.
Setelah dilanda banjir bandang pada 25 Juli 2013, kegiatan belajar mengajar pada tiga sekolah dasar di Negeri (Desa) Lima, Kecamatan Leihitu, Kabupaten Maluku Tengah, Maluku, masih berlangsung di tenda darurat seperti pada Rabu (5/8). Satu tenda dengan ukuran 10 meter x 5 meter digunakan untuk dua kelas.
Kompas/Fransiskus Pati HerinSetelah dilanda banjir bandang pada 25 Juli 2013, kegiatan belajar mengajar pada tiga sekolah dasar di Negeri (Desa) Lima, Kecamatan Leihitu, Kabupaten Maluku Tengah, Maluku, masih berlangsung di tenda darurat seperti pada Rabu (5/8). Satu tenda dengan ukuran 10 meter x 5 meter digunakan untuk dua kelas.
Dua perempuan itu adalah Sarbun Soumena dan Nur Maasily. Masing-masing adalah guru kelas I dan kelas II pada Sekolah Dasar Negeri (SDN) I Negeri (sebutan untuk desa di Maluku) Lima, Kecamatan Leihitu, Kabupaten Maluku Tengah, Maluku. Mereka melaksanakan kegiatan belajar-mengajar pada waktu yang sama. Tak ada sekat pemisah di dua kelas itu.
Sarbun tampak kesulitan mengendalikan kelas yang terdiri atas 30 siswa kelas I itu. Kendati pelajaran sedang berlangsung, beberapa siswa laki-laki berkejaran hingga masuk ke kelompok belajar kelas II. Ada pula yang melongok ke luar lewat lubang tenda, sementara beberapa yang lain menyeret kerikil dengan alas kaki, membuat suasana semakin bising.
Kerikil bercampur pasir memang sengaja ditimbun. Hal ini dimaksudkan agar ruang berlantai tanah itu tidak terlalu becek saat banjir.
Jika hujan lebat, kegiatan belajar-mengajar otomatis dihentikan karena atap tenda bocor sehingga air merembes ke bawah. Para siswa juga bakal gerah saat panas terik. Solusinya adalah belajar di bawah pohon cengkeh yang kini merindang di lokasi tersebut.
Kondisi ruangan pun tak memungkinkan untuk digantung alat peraga, media pembelajaran yang membantu siswa memahami konsep pelajaran. Hanya ada poster abjad yang ditempel di salah satu sisi papan tulis. Gambar Presiden dan Wakil Presiden RI tidak terpajang sehingga siswa tidak mengenal raut muka pimpinan negara. "Dengar nama (Presiden) Jokowi, tetapi tidak tahu wajahnya," kata Masnun Soumena (6).
Masnun yang baru sembilan hari mengenakan seragam putih merah itu sangat menginginkan tempat belajar yang permanen seperti halnya dirasakan anak lain di Indonesia.
Hal yang sama dikeluhkan Rathy Maasily (8). Siswa kelas II ini mengatakan tidak bisa belajar dengan kondisi semacam itu. Ia ingin pindah sekolah di Kota Ambon (yang berjarak sekitar 55 kilometer), tetapi belum diizinkan orangtua karena usianya masih terlalu muda.
"Di kota (Ambon) sekolah mereka bagus-bagus," ujarnya. Ia masuk sekolah itu pada Juli 2014 ketika kegiatan belajar-mengajar sudah berlangsung di tenda darurat.
Bukan hanya SDN I Negeri Lima yang belajar di tenda darurat. Di atas lahan seluas lebih kurang 1,5 hektar itu berdiri sembilan tenda darurat dengan ukuran sama yang dipakai tiga SD. Dua sekolah lain adalah SDN II Negeri Lima dan SD Inpres Negeri Lima.
Satu tenda dipakai dua kelas dengan jumlah siswa setiap kelas 20-30 orang. Sempitnya ruangan memaksa tiga siswa menggunakan satu meja. Bahkan, pada beberapa kelas yang kekurangan kursi, tiga kursi dijejerkan merapat sehingga bisa diduduki lima siswa. Jumlah siswa SDN I Negeri Lima sebanyak 168 siswa, SDN II Negeri Lima 170 siswa, dan SD Inpres Negeri Lima 132 siswa.
Rindu gedung baru
Siswa tiga sekolah dasar di Negeri (Desa) Lima, Kecamatan Leihitu, Kabupaten Maluku Tengah, Maluku, selama dua tahun ini terpaksa belajar dalam tenda berukuran 10 meter x 5 meter yang dijadikan dua kelas, seperti terlihat pada Rabu (5/8). Ketiga sekolah dasar itu hancur diterjang banjir bandang pada 25 Juli 2013 dan hingga kini belum ada upaya pembangunan kembali.
Betapa tidak, lebih dari 400 keluarga harus kehilangan tempat tinggal dan harta benda yang jadi sandaran hidup mereka. Pada Kamis, 25 Juli 2013, sekitar pukul 13.30, "tsunami darat" dengan volume air mencapai 20 juta meter kubik tanpa ampun meluluhlantakkan permukiman seluas lebih kurang 3.000 meter persegi. Semua benda yang berdiri tegak dalam radius itu rata dengan tanah.
Hampir semua tenaga pengajar yang ditanya terkait rencana pembangunan gedung menyatakan telah hilang harapan. Mereka berulang kali menyampaikan kondisi itu kepada Pemerintah Kabupaten Maluku Tengah, tetapi tidak ada tanda-tanda akan terealisasi. Hingga kini, rencana pembangunan masih suram.
Pimpinan di tiga sekolah itu, yakni SDN I Negeri Lima, Idris Salong; SDN II Negeri Lima, SA Soumena; dan SD Inpres Negeri, Lima, Soleman Heluth, mengungkapkan, Pemerintah Kabupaten Maluku Tengah dan Pemerintah Provinsi Maluku belum berbuat banyak untuk ketiga sekolah itu. Kursi dan meja yang digunakan saat ini pun merupakan bantuan dari Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Pedesaan dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana.
Padahal, baik pemerintah kabupaten maupun provinsi sudah sering mengirim tim untuk melihat kondisi di sana. Bahkan, pada 2014, Gubernur Maluku Said Assagaff langsung meninjau lokasi itu dan berjanji akan membantu. Lebih dari setahun berlalu, janji itu tetap janji. Sampai saat ini, bantuan itu belum terealisasi.
Ditutup-tutupi
Idris Salong pun curiga, kondisi yang dialami pada tiga sekolah itu ditutup-tutupi. Dengan demikian, kondisi yang sebenarnya terjadi di wilayah itu tidak diketahui oleh para petinggi, termasuk pengambil kebijakan di tingkat pusat.
"Ada petinggi yang kaget ketika dalam suatu pertemuan saya menyampaikan bahwa sekolah kami masih darurat. Ini berarti sekolah kami sengaja dilupakan," katanya.
Ketua DPRD Kabupaten Maluku Tengah Ibrahim Ruhunussa dan Bupati Maluku Tengah Abua Tuasikal selalu beralasan, pembangunan gedung sekolah terhambat pembebasan lahan. Padahal, sudah ada kerelaan dari Marga Soulissa, pemilik lahan, melepaskan lahan mereka untuk dijadikan lokasi sekolah.
M Saleh Soulissa, keluarga pemilik lahan, mengungkapkan, komunikasi pemerintah dengan pemilik lahan kurang baik.
"Kami tidak butuh dihormati. Kami tidak butuh uang. Kami menginginkan agar ada komunikasi yang baik dan saling menghargai," ujarnya.
Pemerhati pendidikan dari Universitas Pattimura, Ambon, Abraham Mariwy, menilai, Pemerintah Kabupaten Maluku Tengah dan Pemerintah Provinsi Maluku tidak serius menangani masalah di Negeri Lima. Kurangnya komunikasi menunjukkan pemerintah tidak mempunyai kemauan baik.
Kegiatan belajar di tenda darurat dengan sarana yang minim tidak bakal menghasilkan kualitas sumber daya manusia yang mumpuni. Karena itu, ia berharap Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan turun tangan untuk menyelamatkan pendidikan di sana. Tak perlu menunggu Presiden Jokowi turun tangan.
Sumber: http://print.kompas.com/baca/2015/08/06/Kini-Sekolah-Kami-Dilupakan
-
- Log in to post comments
- 239 reads