Swasembada Daging
Kultur Beternak Sapi sebagai Tabungan, Bukan Berorientasi Pasar
Ikon konten premium Cetak | 15 Agustus 2015 Ikon jumlah hit 475 dibaca Ikon komentar 0 komentar
Semangat pemerintah untuk mengejar target swasembada daging merupakan keputusan yang jitu. Upaya itu bukan hanya menekan ketergantungan negeri ini terhadap impor sapi hidup dan daging, melainkan juga peluang untuk meningkatkan kesejahteraan peternak.
Peternak di Kandang Komunal Kelompok Tani Ternak Bangun Rejo memberikan makan sapi-sapi di Desa Polosiri, Kecamatan Bawen, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, Rabu (12/8). Harga jual sapi yang naik disebabkan oleh tingginya permintaan menjelang Idul Adha.
KOMPAS/AMANDA PUTRIPeternak di Kandang Komunal Kelompok Tani Ternak Bangun Rejo memberikan makan sapi-sapi di Desa Polosiri, Kecamatan Bawen, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, Rabu (12/8). Harga jual sapi yang naik disebabkan oleh tingginya permintaan menjelang Idul Adha.
Dengan demikian, kisruh soal kelangkaan daging, melonjaknya harga jual, dan kekurangan sapi bakalan tak akan terjadi. Pemerintah akan dengan mudah mengendalikan harga, petani mudah mendapatkan bibit sapi bakalan, konsumsi daging per kapita masyarakat akan meningkat, dan pendapatan serta kesejahteraan peternak membaik.
Namun, upaya itu tidak mudah. Pemerintah harus bekerja keras untuk mengejar swasembada. Sebab, kultur beternak di Indonesia tidak seperti di Australia atau negara penghasil sapi yang berorientasi pasar.
Peternak Indonesia belum berorientasi pasar. Ternak selalu diibaratkan sebagai harta simpanan yang bisa digunakan pada saat tertentu. Ternak sapi hanya dilepas pada momen tertentu saat butuh membayar sekolah, kuliah, hajatan, atau untuk kegiatan ibadah.
Seperti halnya peternak di Lampung. Kepemilikan sapi di Lampung masih dikuasai oleh perorangan. Sapi-sapi tersebut ternyata bukan semata sebagai komoditas, melainkan menjadi komoditas investasi.
Simak saja cerita Guntur Cahyono, seorang peternak sapi di Lampung. Menurut Guntur, ia memiliki lima ekor sapi yang kini dititipkan kepada seorang petani di Lampung Tengah.
"Saya memiliki sapi memang untuk investasi. Beberapa bulan lalu, saya ditawari induk sapi dan anaknya seharga Rp 16 juta. Kalau saya terima, nanti perawatannya saya serahkan kepada petani. Saya tinggal jual kalau saya butuh uang," tuturnya.
Kecenderungan peternak yang memiliki sapi sebagai investasi dan bukan sebagai komoditas pasar dibenarkan oleh Kepala Badan Pusat Statistik Lampung Adhi Wiryana. Para peternak rumahan biasanya tak menjual hasil ternak secara rutin ke pasar. Mereka menjual sapinya saat memerlukan uang untuk keperluan yang besar.
"Makelar sapi yang mencari di kampung-kampung tidak mudah mencari sapi. Mereka hanya bisa membeli dari peternak yang akan menyekolahkan anaknya atau menikahkan anaknya," katanya.
Pasar yang besar
Cerita dari Lampung itu hanya secuil fakta bahwa tidak mudah mengubah kultur beternak masyarakat yang berorientasi investasi jangka panjang. Sapi yang diternak bukan dimaksudkan sebagai industri untuk memenuhi pasar daging yang terus meningkat.
Padahal, peluang itu terbuka luas. Namun karena tingkat keuntungan tak sebanding dengan industri yang cuma menggemukkan, mereka kurang terangsang. Peternak sapi di Kabupaten Lamongan, Jawa Timur, misalnya, kini memang menikmati harga Rp 43.000-Rp 44.000 per kilogram sapi hidup, sementara harga daging di pasaran Rp 90.000 per kg. Apabila semua komponen biaya dimasukkan rata-rata Rp 34.000 per kg dari seekor sapi, peternak yang menggemukkan sapi bisa memetik keuntungan Rp 1,2 juta per ekor untuk waktu 4-5 bulan.
Menurut Ketua Kelompok Ternak Sapi Gunungrejo Makmur II di Desa Gunungrejo, Kecamatan Kedungpring, Suparto, Jumat (14/8), keuntungannya sekitar 10 persen dari modal yang diinvestasikan. "Pola beternak berkelompok lebih menguntungkan, pola pakan bisa dengan membuat fermentasi," Kata Suparto.
Di sisi lain, semua ternak milik warga terkumpul di satu areal kandang bersama, tidak berdekatan dengan rumah pemilik, sehingga permukiman tetap bersih. Pemantauan ternak lebih mudah di kandang kelompok. Jika ada pesanan dalam jumlah besar lebih mudah dipenuhi lewat kelompok, tidak orang per orang. "Kotorannya mengumpul jadi satu, bisa dimanfaatkan untuk pupuk dan biogas. Upaya mendapatkan modal atau membangun kemitraan pun lebih mudah," ujar Suparto.
Suparto berharap peternak sapi di Lamongan difasilitasi dan dipertemukan langsung dengan pembeli besar atau pengusaha di bidang persapian dan produknya dengan pola kemitraan. Peternak juga meminta pemerintah memangkas jalur distribusi sapi dan daging sapi agar peternak lebih menikmati untung dan semakin bergairah beternak sapi.
Selama ini, peternak yang lebih lama bergelut dengan sapi, tetapi profit yang didapat paling sedikit dibandingkan dengan perantara dan pedagang.
Menurut Suparto, dengan pola peternak di Indonesia hanya skala kecil, dengan kepemilikan kurang dari lima ekor, sejumlah peternak bisa berhimpun menjadi satu area kandang. "Langkah ini juga bisa untuk menekan impor daging sapi. Penjualan daging nantinya dikelola secara kelompok," katanya.
Jika pola kemitraan berjalan bagus, sebenarnya tidak perlu mengimpor daging. Semua cukup dipenuhi dari peternak lewat pola kemitraan yang saling menguntungkan. Pola kerja sama dengan pengusaha juga memudahkan peternak untuk berkembang.
"Pengusaha terjamin pasokan sapi siap potong atau daging yang dibutuhkannya, peternak terjamin produknya bisa dikirim ke mana saja tanpa khawatir harga jeblok. Peternak bisa mendapatkan pinjaman biaya pakan dengan pasti," katanya.
(Angger Putranto/
Adi Sucipto)
Sumber: http://print.kompas.com/baca/2015/08/15/Kultur-Beternak-Sapi-sebagai-Tabungan%2c-Bukan-Beror
-
- Log in to post comments
- 249 reads