Media Sosial
Minim Literasi Ancam Demokrasi Digital
Ikon konten premium Cetak | 27 Agustus 2015 Ikon jumlah hit 25 dibaca Ikon komentar 0 komentar
JAKARTA, KOMPAS — Selain untuk hiburan dan bisnis, media sosial kini semakin menjadi sarana penting untuk perjuangan demokrasi. Namun, minimnya literasi internet membuat sebagian masyarakat kurang kritis terhadap informasi, bahkan sebagian memanfaatkannya untuk menyebarkan kebencian, diskriminasi, dan radikalisme.
Direktur Indonesian Center for Deradicalization and Wisdom (ICDW) Matahari Timoer mengatakan, teknologi informasi kini kian berpotensi mendorong transparansi, menjaga demokrasi, dan partisipasi politik. Agar tujuan itu lebih optimal, para pengguna internet atau internetcitizen (netizen) harus lebih dewasa dalam mencerna informasi. "Jangan sampai media sosial ini justru dimanfaatkan untuk menyebarkan kebencian dan menghasut orang," katanya seusai jumpa pers "Sikap Netizen atas Penyebaran Kebencian dan Radikalisasi di Internet" di Jakarta, Rabu (26/8).
Penyembunyian identitas (anonimitas) di dunia maya, terutama lewat akun fiktif, rentan digunakan sebagian orang untuk mengungkapkan hal yang tidak bisa dipertanggungjawabkan atau memengaruhi orang lain melalui motif tertentu. Contohnya, ada akun di Facebook dan mengunggah pesan terbuka yang rasis dan provokatif. Itu sangat berbahaya karena rentan menghasut publik.
Menurut Timoer, kita perlu mengembangkan pendidikan literasi internet. Masyarakat perlu disadarkan untuk menyaring sejumlah informasi di internet dan lebih mendorong pesan damai dan berkualitas.
Dalam kesempatan itu, Ketua Forum Demokrasi Digital (FDD) Damar Juniarto mengungkapkan, kebebasan berekspresi melalui media sosial hendaknya digunakan untuk menciptakan hal-hal positif, bukan menebarkan kebencian.
"Namun, sebagian netizen sering mencampuradukkan antara kebebasan berekspresi dan hasutan kebencian. Ini tidak bisa dibiarkan," tuturnya.
Ruang publik
Secara terpisah, Direktur PoliticaWave Yose Rizal mengatakan, kini media sosial, seperti di Facebook atau Twitter, bisa menjadi sumber data menarik. Namun, sebagian orang belum terlalu menyadari bahwa internet merupakan ruangan yang tidak hanya menjadi konsumsi pribadi, tetapi juga milik publik. Mereka perlu diingatkan agar lebih berhati-hati dalam mengunggah pesan atau gambar.
Psikolog Media dan Komunikasi dari Universitas Indonesia (UI), Nina Armando, menjelaskan, perilaku masyarakat dalam mengunggah foto, status, atau informasi seolah tengah berkomunikasi dengan kawan atau seseorang dalam ranah pribadi. Padahal, media sosial itu bersifat massal. Kebebasan berekspresi juga sering digunakan untuk menyajikan ekspresi negatif, mulai dari menghina, mengunggah informasi pribadi, hingga komentar tidak bermutu. (B03/DNE)
Sumber: http://print.kompas.com/baca/2015/08/27/Minim-Literasi-Ancam-Demokrasi-Digital
-
- Log in to post comments
- 119 reads