Catatan Iptek
Meredefinisi KB
Agnes Aristiarini
Ikon konten premium Cetak | 27 Januari 2016 Ikon jumlah hit 28 dibaca Ikon komentar 0 komentar
Setelah ditunda hampir dua bulan gara-gara letusan Gunung Barujari—anak Gunung Rinjani di Lombok, Nusa Tenggara Barat—akhirnya Konferensi Internasional Keluarga Berencana (ICFP) berlangsung juga pada 25-28 Januari 2016 di Denpasar, Bali. Dibuka oleh Presiden Indonesia Joko Widodo, konferensi dihadiri 4.337 peserta dari 116 negara.
ICFP adalah konferensi dua tahunan dan yang sekarang sedang berlangsung di Bali merupakan konferensi keempat. Bertema ”Komitmen Global, Aksi Lokal”, acara yang diselenggarakan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) itu didukung Dana Kependudukan PBB (UNFPA), Bill & Melinda Gates Institute for Population and Reproductive Health, serta Johns Hopkins University.
Seperti yang dijadwalkan, sidang-sidang sepanjang konferensi fokus pada berbagi pengalaman dan strategi untuk memperbaiki akses layanan Keluarga Berencana yang berkualitas sekaligus peluncuran Fasilitas Pendanaan Global (GFF) untuk setiap perempuan dan anak. Itu terutama untuk yang punya potensi mengakselerasi pengelolaan kependudukan dan membantu setiap negara agar memenuhi kebutuhan 225 juta perempuan yang selama ini belum tercakup dalam layanan Keluarga Berencana.
Namun, seperti yang ditengarai Rosalia Sciortino, Profesor Rekanan di Institut for Population and Social Research (IPSR) Mahidol University, sejak hari pertama, konferensi tampaknya lebih fokus pada hal-hal teknis dan meminggirkan dinamika sosial di dalamnya. ”Bahasan lebih banyak tentang Keluarga Berencana, bagaimana cara mencapainya, dan kurang mengungkap berbagai persoalan sosial di bidang kesehatan reproduksi. Jender adalah salah satunya,” kata Sciortino.
Bill & Melinda Gates memang menyumbang banyak, tetapi dari pemberian penghargaan di hari pertama, misalnya, orang membaca bahwa pendekatannya masih formal karena para penerimanya mewakili organisasi. Beda, misalnya, apabila yang menerima adalah pejuang perorangan yang memperbaiki mutu perempuan dan keluarga di lingkungannya.
Sciortino lebih lanjut mengungkapkan, dalam sidang-sidang pleno belum terlihat suara para pemangku kepentingan. ”Aktivis, kelompok masyarakat, dan organisasi perempuan masih kurang terwakili,” ucapnya.
Padahal, seperti diakui Presiden Joko Widodo, ke depan makin penting untuk memberdayakan semua perempuan agar mereka mampu menentukan pilihan: kapan ingin punya anak dan berapa jaraknya. Dengan demikian, ibu dan anak-anaknya punya kesempatan untuk hidup lebih baik dan berkualitas.
Pemerintah Indonesia memang tengah mengembangkan proyek Kampung KB dengan proyek percobaan di kawasan Pangandaran, Jawa Barat. Kampung KB bertujuan mengenalkan dan menyediakan berbagai alat kontrasepsi jangka panjang secara gratis disertai program-program penyuluhan untuk mengakhiri stigmatisasi dan diskriminasi terhadap para perempuan yang membutuhkannya.
Seperti diketahui, sepanjang 2014-2015, laju pertumbuhan penduduk Indonesia mencapai 1,32 persen atau 3 juta jiwa per tahun. Padahal, idealnya hanya 1,1 persen. Pertambahan itu mengkhawatirkan karena perbaikan mutu sumber daya manusia belum merata. Selain itu, di sejumlah daerah, tantangan berbasis konservatisme, seperti agama dan ketidaksetaraan jender, terus bermunculan.
Secara global, Keluarga Berencana berperan penting menyelamatkan satu dari empat perempuan yang meninggal akibat hamil dan melahirkan serta mencegah 1,1 juta bayi meninggal dunia setiap tahun. Itu kunci pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDG) dalam 15 tahun ke depan.
Namun, tanpa pemberdayaan perempuan, semua upaya tampaknya akan sia-sia. Di sinilah redefinisi KB diperlukan.
Sumber: http://print.kompas.com/baca/2016/01/27/Meredefinisi-KB
-
- Log in to post comments
- 76 reads