Aktivitas Adaptasi Belum Masuk Sistem
Isu Tata Lingkungan dan Praktik Lokal Penting
Ikon konten premium Cetak | 28 Januari 2016 Ikon jumlah hit 34 dibaca Ikon komentar 0 komentar
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah sedang menyusun praktik adaptasi massal, di antaranya dengan memasukkan praktik bagus di tingkat lokal. Sementara itu, isu mendasar adaptasi sebenarnya tak lepas dari tata lingkungan selama ini. Tata lingkungan yang buruk meningkatkan kerentanan.
"Sebagai tindak lanjut Kesepakatan Paris, adaptasi massal sedang kami siapkan rancangannya dan akan dibicarakan bersama stakeholder (pemangku kepentingan). Ini menyangkut adaptasi di sektor pertanian dan banyak praktik lokal," kata Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nur Masripatin, dalam diskusi panel Kompas, pekan lalu.
Adaptasi, juga mitigasi, akan dikaitkan dengan pencegahan kebakaran hutan dan lahan. "Mungkin nanti akan dibuat clearing house (tempat mengurus berbagai hal)," ujarnya.
Hal itu dilakukan melalui dialog dengan semua pihak. Itu untuk mencapai kesamaan pandangan dan memilih sektor prioritas dalam kegiatan mitigasi sesuai janji kontribusi penurunan emisi nasional (INDC). "Sekarang belum bicara adaptasi, juga soal loss and damage (kerugian dan kerusakan)," katanya. Selain itu, akan diatur penguatan kapasitas bagi masyarakat lokal, termasuk masyarakat adat.
Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nasional (AMAN) Abdon Nababan menambahkan, masyarakat adat dalam Kesepakatan Paris sudah masuk dalam teks operasional adaptasi. "Sayang, belum masuk ke operasional mitigasi," ucapnya.
Secara terpisah, praktisi adaptasi Ari Muhammad, Rabu (27/1), di Jakarta, menegaskan, isu adaptasi tak lepas dari isu kekinian, yakni tata kelola lingkungan. "Kerentanan wilayah dan risiko wilayah akan bertambah kalau lingkungan tak diperlakukan dengan baik," ujarnya.
Mayoritas warga adat secara tradisional memiliki sistem lumbung. Warga Kasepuhan, misalnya, punya dua jenis lumbung padi (leuit), yakni leuit pribadi dan leuit keluarga, serta leuit komunal disebut "Si Jimat", tempat warga meminjam padi jika cadangan keluarga habis. Jadi, mereka tak pernah kelaparan.
Strategi adaptasi lokal
Selain itu, sejumlah kelompok masyarakat adat dan petani lokal juga telah memiliki strategi adaptasi terhadap pergeseran musim tanam akibat perubahan iklim.
Masyarakat adat Kasepuhan di Desa Cirompang, Kecamatan Sobang, Kabupaten Lebak, Banten, misalnya, mampu beradaptasi dengan pola cuaca yang berubah. Ada dua strategi, yakni mengubah jadwal tanam padi secara periodik dan mengelola hasil panen dengan sistem lumbung.
"Setiap tahun, olot (pemimpin adat) menentukan kapan harus tanam padi dan situasi apa yang harus diantisipasi. Misalnya, tahun ini diantisipasi bakal kemarau panjang sejak tahun lalu. Dengan sistem ini, kami tak pernah gagal panen," kata Jaro (Kepala Desa) Cirompang, Sarinun.
Cirompang berpenduduk 518 keluarga atau 1.551 jiwa. Sebagian besar penduduk adalah petani pemilik lahan (42 persen), buruh tani (38 persen), serta sisanya buruh serabutan dan gurandil (petambang emas).
Olot Amir mengatakan, setiap tiga tahun, dirinya menggeser jadwal tanam padi 3 bulan 10 hari. Jika tahun ini musim tanam awal Oktober, pada 2019 jadwal tanam bergeser jadi 10 Desember. Jadwal bisa berubah sesuai dinamika observasinya.
Untuk memutus siklus hama, warga diminta menanam padi serentak, juga saat panen. Warga wajib menanam padi besar (pare gede) dengan beragam varietas lokal yang umumnya bisa dipanen setelah enam bulan. Seusai panen, padi pendek ditanam.
Desa Cirompang memiliki sekitar 20 jenis padi lokal yang sudah beradaptasi terhadap lingkungan dengan baik dan cenderung tahan hama.
Strategi adaptasi juga ditunjukkan masyarakat adat Boti di Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur. "Desa kami tidak pernah kekurangan pangan. Kami mengatur waktu tanam dan menanam aneka jenis sumber pangan, terutama umbi-umbian yang tahan kering," kata Raja Boti, Nune Ambenu.
Menurut dia, mereka mempunyai kalender tanam berdasarkan perhitungan bintang. Warga juga menjaga lingkungan, terutama kelestarian hutan adat, sehingga sumber air terjaga.
Sementara itu, Direktur Climate Change Risk and Opportunity Management (CCROM) Rizaldi Boer mengatakan, adaptasi, antara lain, dilakukan saat diketahui awal musim hujan (AMH) mundur yang berakibat berkurangnya lahan yang bisa ditanami sehingga perlu dilakukan percepatan tanam. Perhitungan mundurnya masa tanam bisa ditentukan dengan melihat anomali suhu permukaan laut.
(AIK/ISW)
Sumber: http://print.kompas.com/baca/2016/01/28/Aktivitas-Adaptasi-Belum-Masuk-Sistem
-
- Log in to post comments
- 71 reads