BEKERJA DAN BERBAKTI UNTUK KEMAJUAN KTI

Komunikasi Pelibatan Publik dalam Pendidikan

Komunikasi Pelibatan Publik dalam Pendidikan
Syafiq Basri Assegaff
Ikon konten premium Cetak | 1 Februari 2016 Ikon jumlah hit 183 dibaca Ikon komentar 1 komentar

Pelibatan publik kini salah satu fenomena paling penting di bidang pendidikan dan kebudayaan di negeri ini.

Tiga kejadian ini jadi buktinya. Pertama, pelibatan orangtua siswa dalam dialog dengan pendidik untuk menangkal bibit terorisme sejak dini di sekolah, sebagaimana disampaikan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan pada hari Minggu, 17 Januari 2016. Anies minta agar wali kelas berkomunikasi dengan orangtua untuk bisa mengetahui sejak dini apabila ada gejala-gejala penyimpangan, termasuk kekerasan (seperti terorisme), narkoba, dan pornografi.

Kedua, saat terjadi bencana kabut asap tahun lalu, saat Anies banyak berinteraksi langsung dengan kepala sekolah, guru, dan orangtua siswa melalui tatap muka, telepon, dan media sosial.

Ketiga, saat belasan tokoh pemerhati pendidikan dari 10 provinsi yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil untuk Transformasi Pendidikan berdialog dengan para pejabat eselon I dan II Kemendikbud di Jakarta, 7 dan 8 Januari silam.

Publik dan demokrasi

Komunikasi dua arah dalam bentuk dialog dengan orangtua, peminat masalah pendidikan dan kebudayaan itu merupakan salah satu terobosan yang baru muncul pada era Kemendikbud sekarang. Ini merupakan langkah nyata Kemendikbud dalam melaksanakan salah satu dari tiga rencana strategisnya, yakni peningkatan efektivitas birokrasi dan pelibatan publik. Dua rencana strategis lain adalah penguatan pelaku pendidikan dan kebudayaan serta peningkatan mutu dan akses pendidikan dan kebudayaan.

Pelibatan publik memang bukan hal mudah karena sebelum ini pemerintah seperti berjalan sendiri, dan nyaris jarang (bila tidak bisa dikatakan "tidak pernah") mendengar masukan dari masyarakat. Itu sebabnya, dialog antara Kemendikbud dan masyarakat sipil seperti di atas bakal diselenggarakan secara rutin setiap tiga bulan dengan agenda yang fokus (Kompas, 9/1).

Penerapan komunikasi dua arah itu, baik yang dilakukan secara interpersonal seperti tatap muka maupun lewat media dan jejaring sosial, tentu dimaksudkan untuk menunjukkan kepada publik luas bahwa Kemendikbud ingin jadi salah satu kementerian paling terbuka.

Dari sudut pandang ilmu komunikasi, sikap terbuka (transparan) terhadap pemangku kepentingan itu otomatis akan semakin meningkatkan kepercayaan publik. Ini jadi kian penting di saat menurunnya tingkat kepercayaan publik kepada oknum pemerintah (otoritas) dan politisi belakangan ini.

Sesungguhnya, menurunnya kepercayaan publik kepada otoritas dan politisi telah sedemikian meluas sehingga menjadi perhatian di banyak negara demokratis. Dan, pelibatan publik dianggap sebagai sebuah solusi potensial terhadap krisis kepercayaan itu, khususnya di banyak negara Eropa. Idenya adalah bahwa publik seharusnya dilibatkan secara penuh pada proses kebijakan dengan cara sang otoritas mendengarkan pandangan publik dan menghimpun partisipasi mereka. Bukannya sekadar menganggap publik sebagai penerima keputusan yang pasif.

Sebenarnya, partisipasi publik tidak hanya meningkatkan kepercayaan terhadap otoritas dan memperbaiki efektivitas politik warga negara, tetapi sekaligus menguatkan nilai-nilai demokratis dan bahkan memperbaiki kualitas keputusan dan kebijakan. Saking pentingnya masalah pelibatan publik ini, banyak negara telah menjadikannya sebagai UU yang harus dilaksanakan pada semua level pemerintahan.

Di sejumlah negara di dunia, perkara pelibatan publik menjadi bagian dari klausul hak asasi manusia (HAM) atau manifestasi hak kebebasan berserikat. Bahkan, negara seperti Belanda, Jerman, Denmark, dan Swedia, telah mengatur masalah kebebasan memperoleh informasi dalam sistem hukum mereka sejak abad pertengahan. Di Inggris, pemberdayaan warga negara diterapkan pada semua jenjang pemerintahan melalui konsultasi dan riset dalam bentuk kelompok terfokus atau forum diskusi secara daring. Di AS, banyak kebijakan mengharuskan adanya dengar pendapat masyarakat (public hearing) di depan para eksekutif pemerintah. Di AS, hak publik untuk melakukan petisi menjadi bagian dari First Amendment sejak 1791.

Manfaat pelibatan publik

Sebenarnya konsep pelibatan publik bukan saja penting bagi pemerintah. Sejak lama para ahli komunikasi menyarankan agar setiap organisasi, termasuk korporasi, organisasi nirlaba, swasta, dan pemerintah, untuk selalu mementingkan publik mereka. Itu sebabnya, petugas hubungan masyarakat disebut "public relations", sementara orang marketing selalu memperhitungkan "keinginan pasar" dan menekankan strategi yang customer-oriented.

Memang, secara umum, dari kacamata komunikasi, pendekatan interaktif model begitulah yang paling baik, melebihi pendekatan proaktif, apalagi yang reaktif. Bahkan, ahli seperti Grunig sangat menekankan bahwa setiap organisasi yang ingin sukses haruslah berdialog dengan publik dalam bentuk dialog (yang dua arah itu).

Dalam dunia maya sekarang ini dialog itu diwujudkan melalui interaktivitas atau semacam partisipasi audiens (engagement), agar organisasi tahu apa yang sebenarnya menjadi minat dan keinginan publik (atau "pasar") mereka. Tak ada gunanya Anda punya ratusan ribu follower di Twitter atau rekan dan penggemar di Facebook apabila Anda tidak berdialog dengan mereka. Ahli krisis komunikasi Timothy Coombs (2007) juga menyatakan, perusahaan yang paling punya peluang terhindarkan dari krisis adalah yang paling banyak melakukan komunikasi dua arah dengan publiknya.

Tak aneh, sebab perilaku yang terbuka seperti pelibatan publik itu memang memberi banyak manfaat. Selain penguatan demokrasi, keterbukaan seperti itu juga meningkatkan akuntabilitas penyelenggara negara dalam berbagai perkara sosial (termasuk pendidikan dan kebudayaan) dan lingkungan. Lewat tindakan itu, kita bisa yakin pemerintah menunjukkan tanggung jawab terhadap tindakan mereka dan bersikap responsif terhadap masalah yang ada di tengah masyarakat.

Menggarisbawahi pentingnya akuntabilitas itu, pelibatan publik oleh Kemendikbud itu tidak hanya dapat memaksimalkan anggaran yang dikelolanya, tetapi sekaligus mengontrol dana yang diberikan negara kepada daerah, yang jumlahnya berkali lipat dibandingkan anggaran Kemendikbud itu sendiri.

Tak cuma membantu kontrol anggaran, kerja sama melibatkan publik juga sejatinya akan membantu meredam konflik sosial yang mungkin muncul ketika kebijakan itu diterapkan, meningkatkan efisiensi dan efektivitas program, serta memperbaiki kualitas proses. Sebab, pendapat yang berbeda dan masukan tentang masalah yang ada di tengah masyarakat dapat menjadi kajian untuk perbaikan dalam proses pengambilan keputusan.

Selain itu, juga meningkatnya legitimasi karena masyarakat tidak akan merasa dimanipulasi atau jadi curiga. Masyarakat juga makin yakin bahwa tujuan berbagai terobosan yang dilakukan Kemendikbud memang semata-mata demi kebaikan masa depan anak-anak bangsa.

Kesimpulan

Pelibatan publik sendiri bukan tanpa kendala, seperti adanya berbagai perbedaan pandangan dari tiap-tiap pihak, tetapi hal itu bisa disiasati dengan baik apabila Kemendikbud melakukan yang berikut ini.

Pertama, Kemendikbud tidak saja harus menyediakan kesempatan berdialog, tetapi juga menyajikan informasi yang relevan dan komprehensif, dan sejak awal memberikan alokasi terhadap sumber daya yang ada secara memadai kepada publiknya. Sebab, masukan tadi dapat membantu Kemendikbud sendiri dalam membuat rencana dan menerapkan proses yang lebih baik serta memiliki legitimasi.

Kedua, mengingat adanya keterbatasan Kemendikbud, agar pelibatan publik itu lebih efektif, ia perlu disempurnakan dengan membangun partnership bersama pihak-pihak yang terpengaruh oleh adanya kebijakan atau program baru sehingga dapat membantu penyelesaian berbagai masalah yang ada.

Ketiga, berhubung masyarakat sipil lazimnya kurang memiliki kapasitas untuk perform secara maksimal, Kemendikbud perlu memberdayakan mereka agar dapat melihat kelayakan sebuah sasaran, mengevaluasi dampak, dan mengidentifikasi pelajaran apa yang bisa digunakan untuk masa depan.

Keempat, karena kemungkinan tidak semua bagian masyarakat terwakili dalam partisipasi publik yang digagas, Kemendikbud perlu menyiasatinya lewat proses seleksi yang adekuat sehingga ada keterwakilan pandangan publik yang beragam.

Syafiq Basri Assegaff

Pengajar Komunikasi dan Peneliti di Paramadina Public Policy Institute

Sumber: http://print.kompas.com/baca/2016/02/01/Komunikasi-Pelibatan-Publik-dalam-Pendidikan